KedaiPena.Com – Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, wacana yang ingin presiden dipilih kembali oleh MPR, merupakan pengkhinatan terhadap agenda reformasi.
Menurut dia, salah satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung.
“Perubahan ini bukan-lah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi, pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya,” kata Pangi di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Pangi menambahkan, ketika itu MPR berubah wujud menjadi stempel kekuasaan dan di sisi lain presiden menjelma bagai dewa yang anti kritik, menjadi feodal seutuhnya. Dan, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri.
“Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas dan berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter beserta perangkat pendukungnya,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini mengaku memahami bahwa transisi dari rezim otoriter ke era domokratis memang tidak selalu berjalan mulus. Namun itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang melahirkan otoritarianisme.
Dikatakan Pangi, komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih bukan reaksioner. Sehingga melahirkan solusi jitu bukan dengan mengambil jalan pikiran pintas lantaran malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dealetika berfikir.
“Indikasi malas berfikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem,” ucapnya.
Pangi tak habis piki konsekuensi/mudarat dipilih MPR, menggapa kita mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah di impeachmen/dijatuhkan.
“Jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung, tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike,” bebernya.
Pangi mengingatkan pada peristiwa pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur oleh MPR. Semestinya, kata dia, peristiwa itu cukup menjadi pembelajaran penting bagi bangsa betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR.
“Masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisir hal tersebut melalui paket sekelas undang-undang pemilu, bukan ujuk-ujuk amandemen konstitusi,” terangnya.
“Paket undang-undang pemilu tersebut sudah lama menjadi wacana terkait pembiayaan politik, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, mahar politik dan penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu,” sambungnya.
Menurut dia, selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, maka sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem dan kemudian menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam.
“Atau jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa,” tukas Pangi.
Laporan: Muhammad Hafidh