Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Isu transisi menjadi perhatian serius (concern) negara-negara di dunia, khususnya negara maju dan yang tergabung dalam Group of Twenty (G20) dan Conference of Parties yang telah memasuki forum ke-27 (COP27). Apakah pasalnya begitu besar perhatian pemimpin negara-negara maju tersebut terhadap isu transisi energi, dan apa sebenarnya maksud dan tujuan transisi energi? Lalu, bagaimana sikap pemerintah Indonesia melalui kebijakannya menghadapi isu transisi energi tersebut? Banyak sekali agenda yang dibawa dan diajukan oleh berbagai negara G20 terkait komunike yang dihasilkan oleh COP27 untuk segera ditindaklanjuti masing-masing negara. Namun, tidak sedikit dari negara-negara maju yang bertindak sebagai pelopor dari transisi energi hanya membawa agenda kepentingan ekonomi ke negara berkembang dan “enggan” melakukannya di dalam negeri mereka sendiri.
Transisi energi menurut pengertian umum merupakan suatu peralihan produksi dan konsumsi energi berbasis fosil ke energi terbarukan. Dengan melakukan transisi energi, dengan begitu telah turut serta mengurangi dan atau mencegah terjadinya krisis iklim bertambah parah. Upaya ini sekaligus bertujuan menjaga kelestarian lingkungan yang hijau melalui energi minimal emisi karbon (green energy) demi kehidupan berkelanjutan di masa depan. Berbagai anomali iklim, polusi udara dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada abad ke-19 dan 20 dianggap bersumber dari penggunaan energi fosil. Atas latar belakang inilah, maka negara-negara maju membawa agenda perubahan iklim dan isu transisi energi ke dalam forum G20 dan COP27.
Tulisan ini mencoba mengurai dalam perspektif ekonomi konstitusi terkait peran, peluang, tantangan beserta upaya yang telah dilakukan pemangku kepentingan (stakeholders) sektor energi dan hasil yang telah dicapai atas implementasi transisi energi. Terutama, hasil dan manfaat atau nilai tambah sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
Cofiring Untuk Perekonomian Rakyat
Presiden Joko Widodo pasca menerima mandat Presidensi G20 (periode 1 Desember 2021-30 November 2022) di Roma, Italia dan sosialisasi hasil pertemuan Conference COP26 di Skotlandia terkait perubahan iklim (climate change) di Skotlandia telah menegaskan komitmen Indonesia. Selanjutnya, Presiden meminta pejabat terkait, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN untuk menindaklanjuti kesepakatan G20 dan COP26 itu. Yaitu, untuk memulai transisi energi melalui penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan di dalam negeri dengan dukungan kebijakan energi terbarukan yang tepat dan memadai. Meskipun, investasi disektor energi melalui Penanaman Modal Asing (PMA) seret sekali, namun BUMN PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN telah melakukan tahapan transisi energi tersebut.
Selain telah mencatatkan kinerja rasio elektrifikasi (RE) nasional mencapai 99,79 persen pada tahun 2023, dengan melayani sejumlah 81.556.202 rumah tangga yang berlistrik secara nasional. Maka, PLN juga langsung bergerak cepat menjalankan perintah Presiden Joko Widodo terkait implementasi transisi energi tersebut. Capaian lainnya yang berkinerja positif, yaitu melalui pelistrikan pertanian atau Electrifying Agriculture (EA) sebuah inovasi nyata untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan di Tanah Air. Program yang konsisten dijalankan oleh PT PLN (Persero) ini tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, melainkan juga pada perekonomian masyarakat dan daerah.
Terkait isu energi kotor yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang diminta segera “dimatikan” pun, PLN melakukan berbagai upaya kreatif dan solutif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh jajaran PLN adalah melalui teknologi pembakaran campuran atau dikenal dengan istilah Cofiring. Cofiring adalah proses pembakaran campuran bahan bakar fosil dengan bahan bakar sumber energi terbarukan, seperti biomassa, biogas, atau hidrogen. Program ini dilakukan dengan mencampur biomassa, seperti serbuk gergaji, sekam padi, dan cangkang sawit, dengan batu bara pada PLTU. Pembakaran campuran ini merupakan langkah substitusi batu bara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti “pellet” kayu, sampah, cangkang sawit dan serbuk gergaji (sawdust) hingga limbah.
Hasilnya, menurut data resmi PLN, pada periode 2022 BUMN ini telah berhasil mengimplementasikan teknologi co-firing di 36 lokasi PLTU. Teknologi ini mampu memproduksi energi sebesar 575,5 GWh dan menurunkan emisi karbon sebesar 570 ribu ton CO2 dengan memanfaatkan biomassa sejumlah 542 ribu ton. Bahkan, implementasi cofiring PLTU ini pada periode 2023 telah berhasil mereduksi atau mengurangi polusi yang dihasilkan emisi karbon hingga 1,05 Juta ton CO2e. Capaian sepanjang tahun 2023 ini meningkat jika dibandingkan realisasi tahun 2022. Dalam produksi reduksi emisi misalnya, PLN mampu menambah pengurangan emisi hingga 450 ribu ton CO2. Produksi energi bersih sepanjang 2023 mencapai 1,04 terawatt hour (TWh) atau tumbuh lebih dari 77% dari realisasi tahun sebelumnya (tahun 2022) yang sebesar 575 gigawatt hour (GWh) di 43 PLTU dari 52 unit milik PLN.
Artinya, teknologi co-firing PLN telah memberikan upaya nyata bagi pengurangan emisi karbon melalui sumber daya lokal tanpa melakukan impor teknologi yang menguras devisa negara. Luar biasanya, tidak hanya pengurangan emisi karbon dan impor barang modal, namun teknik pencampuran ini memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat. Bahan-bahan yang digunakan untuk kebutuhan co-firing bersumber dari penjualan oleh masyarakat lokal yang notabene memberdayakan perekonomian untuk memperoleh penghasilan. Penghasilan masyarakat yang biasanya tidak memanfaatkan sumber bahan co-firing selama ini atau dibuang begitu saja karena dianggap sampah menjadi bertambah dan atau meningkat.
Agar mampu menggairahkan minat masyarakat bagi terlaksananya kebijakan program transisi energi melalui co-firing ini, perlu kiranya pemerintah memberikan subsidi dan atau insentif harga dan non harga kepada masyarakat penjual bahan bakar untuk biomass,biogas atau hidrogen ini,. Setidaknya, untuk menahan laju penjualan bahan baku biomass ini ke negara lain yang tentu saja tidak bernilai tambah ke dalam negeri. Menurut data Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2022 ekspor pellet kayu masih sekitar 500.000 ton dan cangkang sawit baru sebanyak 4,5 juta ton. Setidaknya harga bahan baku untuk co-firing tersebut bisa bersaing dan atau lebih menarik dibanding harga ekspor batu baru per ton.
Dampak lainnya dari pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui co-firing dari sumber pellet” kayu, sampah, cangkang sawit dan serbuk gergaji (sawdust) hingga limbah adalah terciptanya kebersihan lingkungan. Masyarakat lambat laut akan terbiasa mengumpulkan ampas dari berbagai sumber biomass itu untuk kepentingan co-firing yang bernilai tambah ekonomis. Lingkungan setempat juga akan terhindar dari limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) atau setidaknya dari bau yang ditimbulkan dari pembuangan ampas atau limbah sembarangan. Justru peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dikelola oleh Pemerintah Daerah jika mampu membangun kesadaran masyarakat lebih luas.
Inilah perwujudan dari implementasi kreatif, inovatif dan konstruktif bagi rakyat, bangsa dan negara melalui terminologi usaha yang sesuai dengan frasa Pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama antara BUMN dan masyarakat berdasar azas kekeluargaan. Mengurangi ketergantungan sumber energi kotor (fosil) dari impor yang menyebabkan defisit transaksi berjalan semakin lebar melalui pemanfaatan potensi lokal. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM perlu mendukung langkah inovatif PLN dalam transisi energi melalui cofiring ini dengan memperluas cakupan, kapasitas dan skala ekonomi produksinya. Dibandingkan, terus menerus melakukan impor migas dan BBM yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik hingga bulan Juni 2024 telah menguras devisa US$7.900 juta atau senilai Rp126,4 triliun lebih yang tak berdampak pada nilai tambah bagi perekonomian rakyat!
[***]