Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pembelajar Sejarah.
TENTUNYA, setiap kali menjelang peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, ada saja sebersit kenangan yang muncul dalam ingatan keluarga para pahlawan bangsa.
Demikian pula dengan cucu mendiang Jenderal Besar Soedirman, Ganang Priyambodo Soedirman.
Pria yang sangat mengidolakan sang kakek karena kesederhanaan dan kejujurannya ini mengaku kerap teringat pada sebuah kisah yang terjadi pada tahun 1946, tepatnya beberapa saat menjelang perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus.
Baca juga: Ekonomi Penjajahan Baru Mirip Kelakuan Van Den Bosch
Jenderal Soedirman, yang kala itu terus-menerus masuk keluar hutan untuk memimpin Tentara Nasional Indonesia bergerilya melawan tentara Belanda yang melakukan agresi, tak sempat lagi memikirkan keperluan pribadi.
Termasuk, mempersiapkan pakaian seragam yang layak untuk mengikuti upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI.
Terlebih lagi, tahun 1946 adalah upacara peringatan Hari Proklamasi yang pertama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Dalam suasana seperti itu, Sukarno, yang memperlakukan Soedirman seperti saudara kandung, tiba-tiba mengirimkan sepucuk surat.
Isinya bukan hanya menyentuh dan mengharukan, tetapi juga menggambarkan kedekatan batin kedua tokoh ini. Dalam surat pendek itu, Sukarno menulis:
“Saudaraku, Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saya kira saudara tidak mempunyai seragam yang bagus. Maka bersama ini saya kirimkan bahan untuk seragam baru. Haraplah diterima, sebagai tanda persaudaraan kita…”
Meskipun keduanya sering diibaratkan sebagai kawan seiring yang berbeda jalan dalam memperjuangkan kemerdekaan—yang satu menempuh jalan politik, yang satunya lagi cara militer—keduanya sering saling berkirim surat.
Baca juga: 78 Tahun Proklamasi, Drama Koalisi dan Presidential Treshold Merampas Kemerdekaan Rakyat
Di masa revolusi fisik, tokoh-tokoh sipil dan militer berbaur menjadi satu, sehingga ada semacam konsensus untuk saling menjaga apabila salah satu dari mereka ditawan musuh atau gugur, agar perjuangan tetap dapat dilanjutkan.
Sekelumit makna dari kisah sederhana ini adalah bahwa sikap setia kawan dalam perjuangan berada di atas segalanya, betapapun sulitnya keadaan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Tradisi persahabatan seperti ini kini telah luntur, tergantikan oleh pragmatisme politik yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok.
[***]