Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
PROFESOR Sartono Kartodirdjo menekankan pentingnya mengedepankan peran orang-orang biasa di dalam penulisan sejarah.
Seperti petani, ulama, guru, mahasiswa, dan elemen-elemen lainnya di strata lapisan bawah sebagai sentral. Yaitu dengan menempatkan mereka sebagai pelaku-pelaku utama di dalam perjalanan sejarah.
Menurut pelopor historiografi modern Indonesia ini, visi Indonesiasentrisme perlu diterapkan untuk menggantikan visi Eropasentrisme yang sebelumnya telah menguasai historiografi pada masa kolonial. Yang lebih menempatkan orang-orang Eropa sebagai pelaku utama dalam sejarah Indonesia.
Di antara elemen-elemen yang patut dikedepankan itu menurut Sartono termasuk di antaranya adalah peran para jawara.
Peran mereka terbilang penting misalnya pada masa revolusi kemerdekaan dan peristiwa-peristiwa pemberontakan pada paruh waktu abad ke 19 dalam melawan penjajah Belanda.
Sartono sendiri telah menyingung mengenai peran para jawara di dalam bukunya: Pemberontakan Banten 1888.
Buku yang merupakan tesis Sartono di Departemen of Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universiteit Amsterdam, Belanda, tahun 1966 ini, memaparkan konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit, kelaparan, dan bencana yang terjadi pada masa itu, yang menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat.
Belanda yang kualahan sampai-sampai mengirimkan pasukan tambahan dari Batavia untuk memadamkan pemberontakan yang berlangsung pada medio Juni-Juli 1888 ini, diiringi dengan penangkapan-penangkapan terhadap para tokoh masyarakat, yang terdiri dari para ulama dan jawara.
Setelah dievaluasi salah satu penyebab pemberontakan ternyata adalah ketidakadilan, intrik, dan persengketaan para priyayi yang menjadi penguasa pribumi dengan rakyatnya sendiri. Sementara pemerintah Belanda bersikap tutup mata terhadap perilaku menindas tersebut.
Para jawara antara lain juga ikut berperan dalam revolusi kemerdekaan, seperti dalam massa aksi Peristiwa IKADA September 1945 untuk mengukuhkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dari kemungkinan berbaliknya sikap balatentara Jepang terhadap Republik yang baru berdiri, selain ikut melakukan perlawanan terhadap tentara NICA dalam sejumlah pertempuran pada 1946, jawara adalah salah satu elemen dari lasykar-lasykar pembela rakyat yang kemudian melebur ke dalam BKR, TKR, yang merupakan cikal bakal TNI.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan tampaknya memiliki kesan tersendiri. Rabu kemarin saat berkunjung ke Banten ia bersilaturrahim dengan para ulama dan para jawara di provinsi paling ujung wilayah barat pulau Jawa itu.
Sebagai murid ideologis Gus Dur yang dekat dengan kaum Nahdliyin Rizal Ramli singgah di desa Cidahu, Pandeglang, Banten, untuk bersilaturrahim dengan KH Buya Dimyati. Dalam pertemuan bernuansa kekeluargaan ini Rizal Ramli didoakan agar dapat memimpin Indonesia untuk mencapai perubahan yang lebih baik.
Rizal Ramli juga bertemu dengan Kiai Abah Hasuri, seorang sesepuh jawara Banten sekaligus ulama terkemuka. Silaturrahim yang berlangsung akrab ini dihadiri pula oleh sejumlah jawara kawakan yang ikut merasakan keprihatinan terhadap tata kelola negara yang dijalankan oleh pemerintah saat ini.
Terdorong oleh keinginan agar rakyat negeri ini benar-benar dapat merasakan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran, lagi-lagi Rizal Ramli dibekali oleh doa-doa dari para jawara dan Kiai Abah Hasuri agar dapat memimpin negeri ini ke arah perubahan yang lebih baik.
[***]