KEBIASAAN dan kultur kolektif yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun mengkristal menjadi tumpukan keburukan sejarah, menjadikan sungai atau kali sebagai tong raksasa sampah. Sejumlah kali menjadi tong raksasa berbagai jenis sampah, ada plastik, popok, softex, kain, ban, karet, busa sampai kasur.
Bahkan yang sangat menyedihkan kali menjadi tujuan utama pembuangan limbah cair, yang terindikasi mengandung limbah berbahaya dan beracun (B3). Juga limbah cair ini bisa juga merupakan limbah domestik, limbah diterjen, limbah dari sejumlah pabrik yang berada di hulu dan sepanjang DAS.
Perkara sampah tersebut dibuang di sepanjang Kali Cikarang, Kali CBL (Cikarang Bekasi Laut), selanjutnya menuju Muaragembong wilayah Kabupaten Bekasi dan laut Jawa. Ada pula yang melewati Kali Citarum melalu kali anak Citarum. Sampah limbah padat dan cair telah menimbulkan derita tersendiri bagi lingkungan, warga sekitar dan nelayan di pesir Muaragembong.
Dampak terhadap lingkungan hidup, pembungan sampah di wilayah DAS dan badan Kali Cikarang dan CBL sangatlah jelas menurunnya kualitas tanah dan air. Biota air dan ikan merosot tajam, mati, bahkan ikan sapu-sapu yang paling tahan kondisi air keruh sekalipun mati karena terendam limbah B3.
Bahkan para nelayan dan petambak ikan bandeng dan udang di Muaragembong penghasilan turun tajam. Beberapa nelayan mengatakan, pada hari ini nasibnya apes (31/8/2919) sama sekali tak dapat tangkapan ikan, padahal biasanya bisa bawa pulang 10-20 kg ikan.
Sebab hari itu limbah cair dari kali CBL turun dan belakangan makin sering. Saat air Pantai Harapan dan Pantai Sederhana Muaragembong terkena limbah, airnya hitam dan sangat bau.
Para petambak ikan bandeng dan udang pada saat normal 4-5 bulan dapat memetik panen. Kini, akibat limbah yang baru 7 bulan, pendapatan menurun dan sulit.
Juga perlu penelitian mendalam dan uji laboratorium terhadap matinya ikan sapu-sapu dan jenis ikan lainnya di perairan kali CBL.
Sepanjang jalan menuju kali CBL ditemui sejumlah pelapak dan titik-titik pembuangan sampah dan penumpukan limbah B3, seperti ‘bottom ash’. Di sini juga ditemukan TPA liar yang cukup luas, yang berlangsung puluhan tahun.
TPA CBL begitu dikenal, sebagai tempat pembuangan sampah lokal dan ada indisikasi sampah industri dan medis. Pernah tersebar informasi, sampah medis itu sebagian berasal dari wilayah lain, seperti Kawarang. Setelah ada pemberitaan media massa, sampah medis tersebut dioplos atau dicampur dengan sampah rumah tangga.
Kenapa tumbuh tempat pembuangan sampah ilegal di sejumlah tempat di wilayah Kabupaten Bekasi? Sebetulnya bagaimana respon Pemkab Bekasi terhadap kondisi buruk tersebut?
Pertanyaan di atas sulit dijawab dengan cepat sebab jawabnya harus realistik dan konkrit. Sungguh tidaklah tepat jika hanya berdebat atau adu argumentasi.
Pertama, wilayah yang cukup jauh apalagi masuk kampung-kampung sangat jelas tidak mendapat pelayanan kebersihan. Tingkat pelayanan sekitar 45-48% dari lebih 2.200 ton/hari produksi sampah Kab Bekasi. Namun data tersebut perlu dipertanyakan basis datanya real atau sekadar asumsi.
Seperti wilayah Cabangbungin, Muaragembong, Pebayuran, dll di bagian utara. Nyaris semua penduduk buang sampah di pinggir-pinggir jalan, pekarangan kosong, kali, dll. Bahkan kali dijadi bak sampah, para pedagang dan warga buang sampah langsung ke kali. Karena di sini tidak ada bak-bak sampah atau tempat penampungan sementara (TPS).
Kedua, demikian pula pada wilayah ujung selatan Kabupaten Bekasi. Bahkan, wilayah jalan raya Bantargebang-Setu, Setu-Cileungsi banyak sampah dibuang di pinggir-pinggir jalan. Masih banyak titik pembuangan sampah sebagai bentuk kebiasaan dan budaya tidak bertanggungjawab terhadap kebersihan, kelestarian lingkungan, estetika dan kesehatan.
Ketiga, semakin banyaknya pembuangan sampah/limbah diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, termasuk migrasi, industri dan pembangunan dan jasa modern di Kabupaten Bekasi. Bertambahnya penduduk diikuti oleh pertambahan permukiman, seperti ‘real estate’ dan rumah-rumah kontrakan.
Hal ini semakin kompleks dan ruwet ditambah pola hidup konsumtif, yang suka kantong dan kemasan plastik. Setiap belanja barang, makanan dan sayuran diberi kantong plastik konvensional.
Akibatnya pertambahan sampah limbah semakin besar pula. Sementara tidak dibarengi dengan penyediaan sarana prasana pengelolaan sampah, seperti bak, tong sampah, TPS, dan lain-lain.
Keempat, sejumlah permukiman dan rumah-rumah kontrakan yang sebagian besar berdekatan dengan kawasan industri tersebut membuang sampah di sembarang tempat. Hampir di pinggiran dan belakang rumah kontrakan dijadikan pembuangan sampah, kemudian dibakar begitu saja.
Pemkab Bekasi dianggap tidak peduli terhadap sampah dan lingkungan hidup mereka. Apatisme tumbuh seperti semakin menumpuknya sampah, yang kini jadi TPA liar. Secara signifikan tumbuhnya TPA liar karena otoritas pengelola sampah Pemkab Bekasi sudah tidak peduli. Merupakan indikasi nyata otoritas pengelola sampah pemkab Bekasi tidak mampu tangani sampah, dan lebih banyak duduk-duduk di kantor dan ruang ber-AC.
Kelima, sampah di darat yang menjadi tanggung jawabnya diabaikan, apalagi sampah yang berada di sepanjang DAS dan badan kali di sejumlah kali di Kabupaten Bekasi. Kali-kali tersebut bertemu pada aliran Kali Citarum, yang kini sangat populer dengan Program Citarum Harum.
Proyek Citarum Harum mendapat pinjaman anggaran sekitar Rp2 triliun dari World Bank. Sebetulnya siapa yang bertanggungjawab atas sampah limbah padat dan cair di areal DAS dan badan kali Cikarang, kali CBL, kali anak Citarum, dan lain-lain?
Keenam, tampaknya Pemkab Bekasi sudah berupaya memasang papan-papan pelarangan agar tidak buang sampah sembarangan. Pelarangan itu mengacu pada PP. No. 4/2012 tentang Ketertiban Umum. Papan tersebut juga sebagai papan informasi dan edukasi. Cuma yang harus dipertanyakan, kenapa Pemkab Bekasi tidak menggunakan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Apakah alergi terhadap UU tersebut. Bukankah sudah sangat tepat secara ‘lex spesialis’, bahwa UU No. 18/2008 sangat relevan?
Sayangnya, pemasangan papan nama itu belum diikuti oleh pengawasan dan ‘law-enforcement’ yang kuat, ketat dan rutin. Sifatnya masih pembiaran. Juga belum memakai pijakan hukum yang kokoh, ‘lex specialis’. Para penegak hukum lingkungan sama sekali belum kelihatan di wilayah ini.
Ketujuh, sungguh sangat memprihatikan Kabupaten Bekasi yang semakin maju dan modern itu tidak ditopang oleh kehandalan dalam pengelolaan sampah dan lingkungan. Karena ‘trade mark’ pengelolaan sampah dan lingkungan akan memacu pada derajat tinggi yang mengglobal ‘Go Clean and Green’. Label yang selalu diusung oleh negara maju, seperti Singapore, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Austria, dan lain-lain.
Kedelapan, sementara orang-orang atau warga yang peduli kelola sampah tidak dapat perhatian dari Pemkab Bekasi. Partisipasi masyarakat dalam kelola sampah diabaikan dan akibatnya masa bodoh terhadap Pemkab. Ada juga yang diperhatikan hanya satu, dua lembaga saja, dengan dalih tidak ada anggaran. Padahal banyak orang yang sudah mengelola sampah baik dari perumahan, pasar, industri, dan kawasan khusus lainnya. Mereka bekerja konkret dengan cara dan gayanya sendiri-sendiri. Sungguh sangat membingungkan?
Sebetulnya, sebagian besar atau seluruhnya warga Kab Bekasi ingin terlibat kelola sampah dengan berbagai caranya. Mereka perlu ajakan, transparan, akuntabilitas dan birokrasi yang humanis sebagai bentuk kebersamaan dan tanggung jawab terhadap permasalahan sampah di wilayah ini, mulai dari Cibarusah hingga Muaragembong.
Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS)