ORANG nomor satu Indonesia, Jokowi, belakangan tampil di berbagai media dengan ucapan lugas tapi sedikit menggelitik, “Saya Indonesia, saya Pancasila.” Kenapa harus melontarkan ucapan demikian? Bukankah pribadi Jokowi tidak bisa mempresentasikan Pancasila, apalagi di dalamnya ada sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa?
Apa urgensinya bilang begitu sekarang, apalagi diucapkan oleh seorang Presiden RI yang cuma ada satu di Indonesia? Bukankah dalam persyaratan menjadi Presiden RI, harus orang Indonesia dan disumpah harus setia kepada Pancasila?
Kenapa yang bilang begitu harus dari seorang Presiden? Memangnya Presiden tidak dipercaya rakyatnya atau ada maksud lain dari Presiden atau cuma iseng-iseng berhadiah sepeda atau untuk iklan pencitraan persiapan tahun 2019, who knows?
Ucapan seorang Presiden bukan tanpa makna, sehingga akan sangat berbahaya sekali, jika antara ucapan dengan kenyataan bertolak belakang. Lalu kalau ini terjadi, bagaimana rakyat mempercayai Presidennya? Bukankah cukup kerja, kerja, dan kerja, sesuai jargon yang Presiden Jokowi gaungkan selama ini?
Bukankah tidak perlu menggunakan iklan yang bisa jadi bumerang? Bila hal itu diucapkan oleh seorang biasa, pasti tidak berdampak besar. Tapi, ketika ucapan itu oleh seorang Presiden, kemudian tak bisa direalisasikannya sendiri, bagaimana dampak dan konsekuensinya?
Dalam suasana perpolitikan yang cukup panas pada tahun 2017, seharusnya normal-normal saja tidak perlu menyatakan, “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Karena, akan menimbulkan perdebatan panjang masalah urgensinya.
Bila itu benar, maka tidak masalah. Tapi, sebaliknya, bila cuma omdo (omong doang), akan senjata makan tuan. Apakah sudah siap menerima risiko dikritik rakyatnya atau rakyat harus diam, lihat dan dengar tanpa boleh bereaksi? Buat apa harus bilang, “Saya laki-laki, tapi melambai?” Bukankah diam itu emas?
Rakyat pasti akan menyambut gembira dan salut, bila sudah merasakan prestasi kerja Presiden bukan ucapannya. Bagaimana bila iklan itu dianggap sesat, kemudian ditertawakan rakyatnya. Di mana wibawa Presiden RI?
Presiden Republik Indonesia itu harus keren, kemudian sedapat mungkin jauh dari kesesatan dan kesalahan, apapun caranya. Presiden Republik Indonesia itu kepala negara rakyat Indonesia yang berjumlah hampir 250 juta orang, dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke, di mana luas wilayah dan kaya raya lingkungannya.
Presiden Republik Indonesia itu harus punya karisma, meski polesan. Presiden Republik Indoensia itu harus tampil gagah, meski cuma di layar kaca. Presiden Republik Indonesia itu harus terlihat cerdas, meski harus belajar dari stafnya. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia seharusnya jangan ingin tampil maunya sendiri, tanpa memperhatikan sesuatu yang jauh ke depan.
Janganlah berlebihan, tapi ujungnya merugikan institusi kepresidenan yang begitu dihormati masyarakat Indonesia dan dunia. Bukankah sudah habis triliunan rupiah untuk memilih seorang Presiden Republik Indonesia? Hindari adanya kesan mubazir atas keterpilihan presidennya dan rakyat harus menunggu sampai habis kontraknya yang lima tahun.
Kini, rakyatnya Presiden Jokowi sudah banyak yang melek dan cerdas, sehingga bila ada ucapan Presiden tidak sesuai kenyataan, maka membuat kecewa dan buang energi percuma. Di tengah rakyat yang haus kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan, maka dibutuhkan bukti bukan janji.
Satu bukti akan menjadi obat luka, tapi bila cuma janji akan membawa sakit hati. Oleh karena itu, ke depan diperlukan bukti, bukti, dan bukti, bukan janji, janji, dan janji. Masih perlukah bilang, “Saya Indonesia, Saya Pancasila?”
Oleh Birru Ramadhan