Ditulis Oleh: Pemerhati Kampus Perjuangan, tinggal di Medan Ahmad Dayan Lubis
SEJARAH yang membentang panjang menunjukkan bahwa UI dan seluruh elemennya hingga hari ini memiliki kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
Sebagai salah satu kampus terkemuka di Indonesia, suaranya selalu mampu mewakili puluhan kampus lainnya di Indonesia.
Dari sisi gagasan-gagasan, daya tekanya, dan bahkan kekuatan gelombang protesnya. Karena itu bagi penguasa mematikan atau membungkam UI menjadi sangat penting ketika ingin suara-suara kritis hilang.
Ketika suara kritis hilang kekuatan oligarki dan kawan-kawanya semakin leluasa berbuat sesukanya. Apalagi jika sudah tidak ada kritik yang memiliki power di tengah dominanya relasi kuasa antara oligarki ekonomi dan oligarki politik.
Sebagai seorang aktivis yang berasal dari UIN Jakarta saya melihat, merasakan dan mengakui power UI di hampir setiap episode gerakan. Misalnya ketika tahun 1997 hingga tahun 1998. Kampus kampus lain sudah bergerak berbulan bulan dari kampus ke kampus tetapi ketika UI belum bergerak memang berbeda daya pengaruhnya. Tetapi ketika UI sudah bergerak pengaruhnya begitu terasa.
Kendatipun gagasannya sama atau bahkan lebih brilian akan berbeda jika itu muncul dari UI (sebenarnya ada juga beberapa kampus lain, tetapi konteks tulisan ini adalah UI, maka itu yang saya sebut).
Itulah sebabnya, teman teman yang mengerti peta gerakan dan jujur tak jarang merekamkan pikiran dan gagasannya ke UI, lalu suara itu datang dari the yellow jaket. Atau ada juga yang lebih lihai, biarkan UI ikut menyuarakan di babak akhir. Sebab anak UI, jika kemudian jadi tokoh biasanya memang karena kapasitasnya dan integritas, bukan karena mulutnya yang besar dan selalu menyebut nyebut dirinya aktivis.
Lihat saja tokoh mahasiswa 98. Yang sibuk ngaku ngaku dan minta diakui dengan mulut besarnya siapa?
Padahal dia berkhianat kepada cita-cita Reformasi. Mungkin ini ciri calon mahasiswa yang tersingkir dari testing masuk Perguruan tinggi ternama.
Kembali ke UI, karena itu mematikan suara kritis dari UI itu semacam ‘plandemi’ yang sesungguhnya satu paket dengan mutilasi pilar Reformasi.
Asal tahu saja, ini pos- pos terakhir yang tersisa. Skenario nya. Naiklah jadi petinggi UI orang yang lemah tetapi kuat syarat akademiknya sehingga memenuhi syarat.
Kemudian buat ia menjatuhkan dirinya sendiri karena kelemahan nya.
Lalu tsunami bulliying meraksasa dan dia mundur. Anda tahu apa yang terjadi? Pilar pilarnya rontok seketika. Memakai jaket kuning itu memalukan, aktivisnya bahkan tidak kritik petingginya tetapi yang lain.
Pesannya, kritik mereka tentang the king of lip itu hanyalah banjir kecil yang coba menghantam tembok raksasa. Ya keok, airnya balik ke Depok. Suara itu tidak perlu didengar dan tidak ngaruh.
Anak UI yang kritis, malu, jaket kuning mulai pudar, akhirnya lemah dan.
Pos pos terakhir sudah di ambang sore yang gelap. Masukkan kepalanya ke dalam comberan, maka jasnya akan kotor dan bau sebagai tetesan dari air got. Baunya semakin menyengat ke segala pejuru.
Bangkitlah UI Bersama Darah Juang Rakyat
Maka, anak UI dan seluruh jiwa pejuang yang ada di dalamnya harus segera bangkit sebelum lonceng kematian benar benar berbunyi. Belum terlambat. Nama besarmu takkan bisa dengan mudah pudar. Sejarah tidak akan pernah mengingkari itu. Kamu kebanggaan rakyat Indonesia.
Darahmu merah dengan jiwa pejuang. Kepadamu ratusan juta rakyat berharap dan masih percaya. Bangunlah jiwamu, majulah serentak, bangsa ini menantimu.
Terhadap semua bulliyan, anggaplah itu tamparan keras yang membangkitkan gairah mu. Tak perlu kau ingkari. Aku menanti gerakanmu yang spektakuler, cerdas, dan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Mereka bermain. Namun permainan mereka dibongkar, dipatahkan, dicuci. Horas laeku di UI. Izinkan aku sapa engkau lae, itu panggilan sayang kami yang di dalamnya tersimpan kepercayaan dan harapan.
Jangan banyak kali lagi melamun, menyesal, apalagi air mata lemah.
Bangun jiwamu. Kami pecinta merah putih bersamamu. Merah putih bendera kita, bintangnya jauh di atas malam hari. Tidak dekat. Bangkitlah jiwamu!
(***)