Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, SH, Kuasa Hukum Bambang Tri, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda).
Gugatan yang kami ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara: 592/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst yang mempermasalahkan Ijazah Presiden Joko Widodo, sebenarnya tak terkait dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kami tidak pernah menarik UGM sebagai pihak, tidak pula mempersoalkan produk Ijazah dari UGM.
Kami hanya menggugat empat pihak, yaitu: Presiden Joko Widodo selaku TERGUGAT I, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) sebagai TERGUGAT II, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) sebagai TERGUGAT III dan Mendikbud Ristek (Dahulu Mendikbud) sebagai TERGUGAT IV.
Materi Gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah Memberikan Keterangan Yang Tidak Benar dan/atau Memberikan Dokumen Palsu berupa Ijazah (Bukti Kelulusan) Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) & Sekolah Menengah Atas (SMA) Atas Nama Joko Widodo Dalam Proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024.
Jadi, kami tidak pernah mempersoalkan ijazah yang dikeluarkan UGM. Kami juga tidak menarik UGM menjadi pihak dalam berperkara.
Memang benar, dokumen yang menjadi dasar gugatan adalah Buku dengan judul Jokowi Undercover yang didalamnya memuat pula ijazah palsu Jokowi di UGM. Masyarakat juga banyak memperbincangkan masalah ini.
Karena itu, beberapa waktu lalu Penulis menyarankan UGM untuk masuk dalam perkara dengan mengajukan intervensi, agar bisa memberikan klarifikasi secara hukum. Klarifikasi yang disampaikan di pengadilan, agar memiliki nilai hukum. Bukan melalui forum Jumpa Pers.
Materi jumpa pers, juga tidak memadai untuk membantah isi Buku Jokowi Undercover yang menyebut silsilah kepalsuan ijazah Jokowi di UGM.
UGM mengawali pernyataan dengan redaksi pengantar “Merespons isu di media baik cetak, elektronik, media sosial, berkenaan dengan tuduhan oleh seseorang yang mempertanyakan ijazah Ir Joko Widodo”. Padahal, klien Kami Bambang Tri tidak sedang menuduh, melainkan sedang mengajukan gugatan di Pengadilan.
Atas Klarifikasi UGM ini, rasanya perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Gugatan yang kami ajukan tidak ada kaitannya dengan UGM, baik dari sisi pihak yang dilibatkan maupun materi gugatan. Sehingga, UGM telah offside membuat Jumpa Pers yang materinya tidak ada kaitannya dengan gugatan yang kami ajukan.
Kedua, jika Jumpa Pers dimaksudkan untuk membantah Buku Jokowi Undercover yang kami jadikan materi posita, yang didalamnya memuat bukti-bukti ijazah palsu Jokowi di UGM, maka materi klarifikasi dan bantahan UGM dalam jumpa pers tidak bernilai secara hukum Karena tidak disampaikan di pengadilan.
Ketiga, bahwa pihak-pihak yang mengadakan jumpa pers yakni Rektor UGM Prof.dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta, M.P., M.Sc., Ph.D, Ahli Hukum UGM Andi Sandi Antonius T T, S.H., LL.M, dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni UGM Dr. Arie Sujtio, S.Sos., M.Si, kesemuanya bukanlah saksi atau pelaku sejarah yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa atau sejarah hidup menuntut Ilmu di UGM bersama Jokowi.
Keterangan yang dihasilkan hanya sampai pada derajat ‘testimoni de auditu’ dan bukan kesaksian yang memberikan keyakinan. Semestinya kawan se-kampus Jokowi lebih memiliki bobot untuk memberikan keterangan yang menyaksikan Jokowi benar-benar mahasiswa dan alumni UGM.
Ditinjau dari aspek materi pernyataan, hanyalah penyampaian informasi yang tanpa didampingi atau disertai bukti-bukti. Sehingga, menjadi sulit bagi publik untuk meyakini kebenarannya.
Sekali lagi, sebaiknya semua pihak menghormati proses hukum yang sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tidak mengeluarkan statemen atau pernyataan yang membingungkan. Kalau ingin membantu kepastian ijazah palsu Jokowi, kami sarankan siapapun agar terlibat menjadi pihak berperkara dan menyampaikan keterangan dan bukti-buktinya di pengadilan.
[***]