“BAYANGKAN, kalau uang impor produk pangan yang Rp24 triliun dipompakan ke dalam negeri. Pasti petani dan petambak garam kita akan sejahtera. Sayangnya, uang itu justru mengalir ke petani negara lain karena impor yang ugal-ugalan,†kata ekonom senior Rizal Ramli, kepada wartawan di KPK, Selasa pagi (23 Oktober).
Mantan Menko Ekuin dan Menkeu era Presiden Gus Dur ini datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melaporkan dugaan tindak korupsi pada kebijakan impor pangan. Ditemani sejumlah pengacara, dia membawa hasil laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sejumlah materi lainnya.
Di KPK Rizal Ramli diterima Komisioner KPK Basaria Panjaitan, Direktur Litbang KPK, Direktur Penindakan KPK dan sejumlah staf lain.
Angka Rp24 triliun yang dimaksudkan Rizal Ramli  itu adalah devisa yang mengalir ke luar negeri karena impor beras, gula, dan garam. Jumlah itu belum termasuk nilai impor daging sapi dan bawang putih.
Sejatinya, angka yang disebut lelaki yang sejak mahasiswa dikenal gigih menyuarakan ekonomi kerakyatan itu sangat konservatif. Jika dihitung ulang, jumlahnya bisa dua kali kali lipat lebih besar.
Contohnya, impor bawang putih dari Cina yang 556.000 ton pada harga Rp4.500/kg plus ongkos kirim Rp3.000/kg, maka angkanya mencapai Rp4,17 triliun.
Sedangkan devisa yang terpakai untuk impor beras asal Thailand dan Vietnam sebanyak 2 juta ton, mencapai Rp17,88 triliun. Begitu juga dengan impor gula sebanyak 1,1 juta ton membuat devisa yang terbang ke luar negeri sebesar Rp8,66 triliun.
Sementara impor daging sapi yang 223.000 ton, nilainya mencapai Rp14,33 triliun. Dengan demkian, total devisa yang terkuras untuk impor empat produk pangan tadi mencapai sekitar Rp45 triliun.
Merugikan perekonomian negara
KPK selama ini membidik para koruptor dengan pasal2 ayat (1) UU no. 3/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Ancaman lainnya berupa denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Badan antirasuah itu dan aparat penegak hukum  selama ini fokus pada aspek merugikan keuangan negara. Sementara aspek merugikan perekonomian negara relatif belum tersentuh. Padahal dampak yang diakibatkan atas terjadinya tindakan yang merugikan perekonomian negara jauh lebih besar dibandingkan ‘sekadar’ merugikan keuangan negara.
Dengan meminjam ucapan Rizal Ramli di awal tulisan ini, bahwa kalau uang impor produk pangan yang Rp24 triliun dipompakan ke dalam negeri, tentu perekonomian nasional jadi menggeliat. Petani dan petambak garam bisa menikmati hasil panennya dengan harga yang bagus. Ini tentu akan berdampak pada meningkatnya daya beli.
Jangan lupa, konsumsi masyarakat menyumbang sekitar 63% dari total pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan impor ugal-ugalan juga telah menyebabkan rakyat Indonesia membayar produk pangan jauh lebih mahal dibandingkan yang seharusnya.
Pasalnya, sistem kuota impor telah melahirkan kartel dan mafia impor pangan. Mereka inilah yang mendikte harga hingga meraup keuntungan jauh di atas batas wajar. Dengan keuntungan yang mencapai ratusan persen itulah, para mafia dan kartel impor pangan menyogok pejabat terkait sehingga bisnisnya bisa terus berlangsung.
Kalau pemerintah menghapus sistem kuota impor dan digantikan dengan sistem tarif, tentu praktik kartel dan mafia impor bisa ditekan sampai tahap minimal. Dengan begitu, petani dan petambak lokal terlindungi dari serbuan produk impor. Ujung-ujungnya harga produk pangan dapat lebih murah. Rakyat pun jadi happy.
Kebijakan impor seperti inilah yang diadukan Rizal Ramli dan para pengacaranya ke KPK. Pengaduan itu berbasis hasil laporan audit BPK tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor periode 2015 sampai semester pertama 2017.
Hasil laporan audit itu menemukan sejumlah fakta hukum  terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Kecanduan impor
BPK menemukan sejumlah pelanggaran hukum  oleh pihak-pihak terkait karena pelaksanaan impor tanpa melalui rekomendasi dari pihak terkait. Pelanggaran juga terjadi karena impor tidak sesuai persyaratan, tanpa berdasarkan rapat koordinasi atau tanpa analisis kebutuhan yang diperlukan.
“Kami melihat ada fenomena import addictive atau kecanduan impor yang dilakukan sejumlah oknum pejabat terkait. Orang-orang ini doyan impor, karena menguntungkan mereka dan mendapatkan manfaat dari perburuan rente. Modusnya, antara lain dengan menciptakan rekayasa kelangkaan atau artificial scarcity sehingga ada alasan untuk melakukan impor,†papar Rizal Ramli.
Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran ekstra. Petani nyaris tidak mungkin kaya. Pokok pangkalnya, kebijakan produk pangan dari para pengelola negeri cenderung tidak berpihak kepada petani.
Bukan itu saja, para pengemban kebijakan di sektor ini juga terkesan sadis. Betapa tidak, mereka tetap saja ngotot melakukan impor beras, gula, garam, dan bawang justru menjelang dan saat panen raya. Padahal suara petani yang menolak impor itu sangat nyaring.
Ditambah dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah sangat gemuruh. Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor beras tadi.
“Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya,†kata Mendag Enggartiasto Lukito di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/1) silam.
Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa. Bagaimana mungkin seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang? Tidakkah dia menyadari, bahwa kecanduan impor yang dideritanya telah kian memiskinkan petani dan menyusahkan rakyat Indonesia?
Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama sekali tidak didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi VI DPR, Kamis (18.01) pekan silam, dia mengaku belum mengantongi data beras secara lengkap.
“Masih banyak gudang yang belum melapor,†ujarnya. Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan.
Kisruh impor pangan sejatinya bisa diatasi, bahkan dicegah, kalau saja Presiden Jokowi mengambil sikap tegas. Dia harus menentukan di mana posisinya. Bersama rakyat dan petani Indonesia, atau terus menutup mata (dan bermain mesra?) dengan para pejabat dan pengusaha penikmat rente?
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)