KedaiPena.com – Dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja, yang mengabaikan dua lembaga negara, yakni Mahkamah Konstitusi dan DPR, dapat dinyatakan sebagai pengkhianatan konstitusi, jika DPR, MK dan MPR berhasil membuktikan bahwa langkah tersebut memang mengkhianati konstitusi.
Hal ini dinyatakan oleh Analis Sosial Politik, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun yang menyampaikan bahwa Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, bertentangan dengan semangat konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.
“Karena Perppu ini mengabaikan dua lembaga negara penting. Yang pertama, Mahkamah Konstitusi, yang telah memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Yang kedua, mengabaikan DPR,” kata Ubed dalam diskusi publik, ditulis Selasa (10/1/2023).
Jika lembaga negara sekuat Mahkamah Konstitusi bisa dikalahkan oleh presiden, Ubed menyatakan negara ini telah berganti menjadi machstaat.
“Sudah jadi negara otoriter. Dimana kekuasaan dimanfaatkan untuk akal-akalan,” ucapnya.
Hal lainnya, yang perlu direnungi dari Perppu Cipta Kerja ini adalah terkait isinya yang tak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja.
“Isinya pro pada oligarki, antara lain oligarki tambang. Contohnya, pasal 128, pemerintah memberikan royalti nol persen pada penambang batu bara. Selain itu, isinya juga tidak berpihak pada buruh, misalnya diksi aneh, Indikator tertentu, pada penentuan upah buruh,” kata Ubed lagi.
Ditambah proses penerbitan Perppu yang mewajibkan adanya Kegentingan memaksa, tidak dapat terlihat pasar proses penerbitan Perppu 2/2022.
“Saya melihat tidak ada kegentingan memaksa. Artinya, pemerintah tidak objektif dan tidak secara empirik. Lebih pada kepentingan yang memaksa. Kepentingan siapa? Ya kepentingan oligarki,” tuturnya.
Ubed menyatakan saat seorang presiden telah melakukan pelanggaran konstitusi, maka secara hukum positif Indonesia, dapat diterapkan pemberhentian seketika atau impeachment.
“Dalam konstitusi, Sidang Paripurna MPR berhak memberhentikan presiden jika melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi, korupsi, menyuap, melakukan perbuatan tercela. Tentunya ini harus melalui proses panjang. Pertama DPR harus melakukan pendalaman atas indikator perbuatan tercela atau pengkhianatan pada konstitusi, lalu mengajukannya kepada MK. Dan jika MK sudah memutuskan bahwa memang ada pelanggaran, baru lah diajukan ke Sidang Paripurna MPR. Pertanyaannya, mampukah DPR dan MK memutuskan perkara tersebut?” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa