KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedillah Badrun menilai pidato kemenangan Presiden terpilih Jokowi di Sentul International Convention Center, Minggu, (14/7/2019) tidak visioner dan malah berpotensi otoriter.
Hal tersebut, lanjut Ubed, didasari oleh diksi-diksi yang agak berbau sentralistik dan sedikit keras semisal saya kejar, saya hajar, saya copot, dan seterusnya.
Jokowi, kata Ubed, juga seringkali tidak menyebutkan indikator yang jelas, misalnya menggunakan diksi tidak ada tempat bagi siapa saja yang mengganggu Pancasila tapi tidak menjelaskan ciri-cirinya.
“Ini berpotensi munculnya hegemoni makna atas tafsir Pancasila dan berpotensi otoriter atas nama Pancasila untuk membungkam mereka yang berbeda secara politik,” ujar Ubed dalam keterangan, Senin, (15/7/2019).
Sedangkan secara substansial, jelas Akademisi UNJ ini, visi yang dinarasikan dalam pidato Jokowi terlihat kurang visioner. Hal tersebut terlihat dari dua indikator utama.
“Jika judul besar pidato Jokowi itu adalah visi Indonesia, secara umum tidak menggambarkan visi yang kuat tentang visi. Sebab visi adalah bicara tentang masa depan Indonesia selama masa kepemimpinannya lima tahun ke depan,” papar Ubed.
Jokowi juga tidak bicara visi ekonomi lima tahun Indonesia ke depan akan seperti apa, hanya terucap kita akan bekerja keras, bangun infra struktur dan membuka investasi sebesar besarnya.
“Itu bukan visi, tapi itu cara mencapai visi. Padahal publik Indonesia dan dunia internasional berharap kejelasan visi ekonomi periode kedua ini misalnya bagaimana posisi ekonomi Indonesia lima tahun kedepan ditengah dinamika perang dagang Amerika dan Cina, seperti apa wajah ekonomi lima tahun kedepan ditengah surplus demografi, dan kira-kira lima tahun ke depan target angka pertumbuhan ekonomi kita seperti apa. Soal ini masih abstrak. Tidak terlihat dengan jelas,” tegas Ubed.
Untuk yang kedua, Ubed menjelaskan, Jokowi sama sekali tidak bicara visi kemanusiaan Indonesia. Padahal problem hak azasi manusia di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan dunia internasional.
“Selama lima tahun periode pertama nyaris tidak ada satupun kasus hak azasi manusia yang tertangani dengan baik. Alih-alih menangani kasus ham yang lama, kasus HAM yang baru justru hadir di periode pertamanya yang nanti akan menjadi beban pemerintahanya selama lima tahun ke depan, seperti peristiwa penangkapan aktivis dan peristiwa penembakan dengan peluru tajam pada peristiwa 22-23 Mei 2019 di Jakarta,” tandas Ubed.
Laporan: Muhammad Hafidh