SEJAK reformasi politik 1998, sudah berkali-kali negeri kita menyelenggarakan pemilu. Dalam tampak sekilas, tampilan pemilu sesudah 1998 berbeda dengan zaman Orde Baru.
Jumlah partai peserta pemilu bisa banyak bahkan pernah 48 partai (pemilu 1999) karena memang diperbolehkan untuk mendirikan partai baru, litsus (penelitian khusus) untuk menyaring calon legislatif tidak ada lagi.
Tidak ada lagi birokrasi dan keluarga TNI-Polri yang dikerahkan untuk mendukung salah satu peserta pemilu (waktu itu Golkar), tidak ada lagi Babinsa (Bintara Pembina Desa) yang melakukan intimidasi halus maupun kasar didesa-desa dan sebagainya.
Namun makin kemari bukan hanya karena seleksi alamiah namun juga karena makin ada pembatasan-pembatasan berdasarkan Undang-undang sehingga partai-partai kecil tidak bisa masuk ke DPR. Bahkan juga untuk pencalonan presiden, dibatasi hanya boleh dilakukan oleh partai atau gabungan partai yang mempunyai 20% kursi di DPR atau 25% suara sah.
Bandingkan dengan pemilu 1955, di mana partai yang hanya memperoleh 1 (satu) kursi pun boleh duduk di DPR. Dan pada waktu itu ada 12 partai yang masing-masing hanya punya 1 (satu) kursi di DPR hasil pemilu 1955 berdampingan dengan 4 partai besar yang masing-masing punya kursi sebagai berikut: PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi dan PKI 39 kursi.
Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa semangat demokrasi di kala pemilu 1955 sangat tinggi, dan demokrasi kita saat ini mengalami kemunduran jauh. Dengan adanya partai yang hanya bisa meraih 1 (satu) kursi diberikan hak untuk duduk di DPR, artinya suara atau aspirasi yang sekecil apapun tetap diperhatikan dan diberikan hak untuk duduk di DPR.
Karena memang Indonesia terdiri dari banyak suku agama & kepercayaan, ras budaya, tingkat pendidikan dan tingkat sosial, dan lain-lain yang sangat beragam yang harus dirangkul dan didengarkan semuanya.
Jadi pemilu 1955 menjadikan Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sebagai slogan seperti saat ini tetapi diterapkan betul dalam sistem pemilu dan perwakilan rakyat di DPR.
Lagi pula partai yang besar belum tentu setelah duduk di DPR, apalagi setelah beberapa periode, akan selalu memperjuangkan aspirasi rakyat. Bahkan bisa saja hanya sibuk merekayasa untuk mempertahankan kursinya dan beberapa anggotanya terlibat korupsi dan lain-lain. Sehingga pada pemilu berikutnya kursinya bisa merosot dan sebaliknya partai yang kecil bisa saja karena rajin memperjuangkan kepentingan rakyat nantinya bisa menambah kursinya di DPR.
Kita bisa mengambil pelajaran dari pemilu Perancis yang terakhir Mei-Juni 2017. Di sana didahului dengan Pemilihan Presiden, menampilkan hasil yang sangat mengejutkan. Presiden terpilih adalah Emmanuel Macron, 39 tahun yang sebelumnya tidak dikenal publik, dia adalah seorang bankir investasi pernah menjadi anggota Partai Sosialis dan pernah menjadi Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri dan Urusan Digital dibawah Presiden François Hollande yang tidak maju mencalonkan diri lagi karena pollingnya yang merosot jauh.
Macron pada 2016 mendirikan gerakan En March ! (On The Move! ) bermodalkan 100 ribu anggota Facebook-nya yang kemudian menjadi 200 ribu. Gerakan ini kemudian berubah menjadi partai politik dan ikut pemilu setahun kemudian.
Pemilihan Presiden di Perancis tidak ada ‘presidential treshold’ (pembatasan jumlah kursi partai yang mendukung pencalonan Presiden di DPR 20% atau 25% suara sah). Bahkan waktu Emmanuel Macron maju menjadi calon presiden, didukung oleh partainya yang bernama LREM (La Rèpublique En March!) belum punya kursi di DPR (alias masih punya nol kursi di DPR karena memang masih partai yang baru berdiri 1 tahun).
Namun Emmanuel Macron akhirnya terpilih menjadi Presiden Perancis dengan kemenangan mutlak 66% mengalahkan saingannya seorang pemimpin politik lama Marine Le Pen yang hanya meraih 34%. Setelah itu pemilu legislatif-pun dilaksanakan dan ternyata partainya LREM yang baru didirikannya juga menang mutlak meraih 350 kursi dari 577 kursi DPR (Majelis Nasional) walaupun hanya berkoalisi dengan partai kecil MoDem (Democratic Movement).
Yang sangat menarik adalah dari hasil pemilu legislatif itu adalah 2 (dua) koalisi partai besar yaitu Partai Sosialis dan Les Republicains (dulu bernama UMP/Persatuan Gerakan Masyarakat) yang biasanya bersaing menguasai dunia politik Perancis perolehan kursinya menjadi terjun bebas hanya mendapatkan 45 kursi dan 136 kursi. Rakyat Perancis sudah tidak percaya lagi kepada kedua koalisi partai besar itu karena sudah melupakan kepentingan rakyat.
Yang sangat penting lagi dari hasil pemilu legislatif Perancis Juni 2017, itu adalah ada 3 (tiga) partai yang masing-masing berhasil mendapatkan hanya 1 (satu) kursi (di antaranya Party Ecologists/ ECO) dan ada 2 (dua) partai yang hanya meraih 3 (tiga) kursi dari 577 keseluruhan kursi DPR Perancis (jadi kurang dari 1%).
Dari uraian diatas sangat terlihat kualitas demokrasi di Perancis yang sangat menghargai suara rakyat betapapun kecilnya suara itu. Partai-partai kecil itu tetap mempunyai hak untuk duduk di kursi DPR, tidak ada ‘parliamentary treshold’ (pembatasan jumlah kursi partai untuk bisa duduk di DPR) dan tidak ada presidential treshold (pembatasan jumlah kursi partai di DPR untuk bisa mencalonkan Presiden).
Kualitas demokrasi seperti yang dijalankan di Perancis itu juga pernah dijalankan di Indonesia di pemilu tahun 1955. Ada 12 partai yang masing-masing hanya meraih 1 (satu) kursi tetapi bisa duduk di DPR.
Namun kualitas demokrasi kita saat ini sudah mundur jauh sekali. Rakyat digerakkan untuk mencoblos di pemilu untuk diambil legitimasinya, dipamer-pamerkan ke dunia internasional tapi kemudian dijebak dengan ‘presidential treshold’ dan ‘parliamentary treshold’.
Kaum pejuang demokrasi Indonesia bersatulah. Dengan akan adanya revisi Undang-undang Politik termasuk Undang-undang Pemilu, ubah ‘presidential treshold’ menjadi 0% dan ‘parliamentary treshold menjadi memberikan hak kepada partai yang hanya meraih 1 (satu) kursi untuk duduk di DPR.
Oleh Abdulrachim K, Analis Politik