Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78.
Dunia sedang tidak baik. Indonesia juga ekonomi rakyat sulit. Termasuk masalah harga naik dan impor beras.
Tetap saja “pengakuan” Yusril tentangnya percakapan antara dirinya dengan Jokowi, mengelitik.
Membahas di MK untuk mengubah batas usia pasangan Capres menjadi 35 tahun. Bermakna bahwa masalah tersebut dianggap “lebih penting” oleh Presiden Jokowi.
Berbagai kelompok termasuk PSI yang Ketua Umumnya Kaesang, yang juga putra Jokowi, melakukan judicial review UU Pemilu tentang mengubah pasal batas usia capres.
Publik menganggap usaha tersebut adalah keinginan “Istana” memuluskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini berumur 35 tahun untuk bisa menjadi cawapres.
Tentu ada reaksi. Reaksi yang cukup tajam dan viral adalah “ketidaksetujuan”. Justru sebagian berasal dari pihak pendukung Jokowi seperti Deni Siregar, Hendardi dan lain-lain.
Pendukung yang sebelumnya menjadikan Jokowi “berhala” selalu dipuja, protes “berat”.
Pengakuan Deni Siregar bahwa bersama kawan-kawannya sesama “influencer” atau lebih dikenal sebagai buzzer Istana. Karena sering diundang Jokowi ke Istana.
Kata Desi (Deni Siregar) mereka selama ini “mengelembungkan” nama Jokowi sehingga selalu meningkat di survei. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo yang juga meningkat pesat di survei adalah “ulah” mereka.
Jagad Medsos “heboh”. Jokowi membangun dinasti. Deni Siregar “mengingatkan” Jokowi jangan masuk perangkap Gerindra. Menurut dia keinginan keras “menyunting” Gibran jadi cawapres adalah untuk Prabowo Subianto (PS).
Haaal ini semata untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo. Melalui Relawan Jokowi yang sudah “diambil alih” oleh putra-putranya.
Deni juga mengingatkan dan percaya sang “tuannya” Jokowi, tidak akan berkhianat terhadap Megawati yang menjadikan Jokowi Presiden dan anaknya jadi Walikota Solo serta mantunya jadi Walikota Medan.
Lalu, MK rencananya Senin (16/10/2023) akan memutuskan judicial review UU Pilpres. Mengubah pasal batas umur menjadi 35 tahun. Atau memberi imbuhan pasal pada UU.
Bagi yang pernah jadi bupati, gubernur, atau kepala daerah ada kekecualian. Jika itu terjadi, maka MK menjadi Mahkamah Keluarga, mmenurut tokoh nasional Dr. Rizal Ramli.
Upaya MK ini dibaca publik sebagai usaha untuk meloloskan anak Jokowi. Gibran Rakabuming, Walikota Solo. Agar bisa maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Ketua MK juga adalah adik Ipar Jokowi, paman dari Gibran. Keluarga benaran yang lagi berkuasa. Jadilah MK populer dengan sebutan Mahkamah Keluarga.
Sebenarnya menurut pasal UU Kehakiman, hubungan kekerabatan/keluarga dilarang keras. Apalagi menjadi jabatan hakim agung. Anwar Usman ipar Jokowi duduk sebagai Ketua MK.
Banyak kebijakan kepemerintahan terkait dengan kepentingan eksekutif/ presiden. Harusnya Ketua MK Anwar Usman mundur atau diberhentikan.
Namun keadaan Indonesia yang tidak lagi baik-baik saja. Pelanggaran Konsitusi seperti itu lumrah. DPR diam. Para Rektor pun diam. Ketua-ketua parpol sami mawon. Katanya sih tersandera.
Kembali kepada judul. Kepentingan siapa merubah pasal UU Pemilu? Melalui MK. Yang pasti kepentingan politik kekuasaan. Bukan kepentingan rakyat yang lagi tercekik, karena krisis ekonomi.
Untuk Prabowo, kepentingannya seperti yang disampaikan Desi. Meningkatkan elektabilitasnya. Untuk Presiden Jokowi kepentingannya? Harus diingat putranya Gibran dan Kaesang punya masalah dugaan KKN money laundring ajuan Ubaidillah Badrun, akademisi UNJ. Kasusnya masih “digantung” oleh KPK.
Begitu juga masalah kebijakan & pemborosan APBN Kereta Api Cepat dan kasus lain. Bisa diungkit dikemudian hari. Artinya keluarga harus berjuang supaya Gibran berkuasa. Semua bisa di-stop. Artinya kepentingannya disamping menbangun dinasti juga untuk jalan penyelamatan.
Bagi PS yang “ngotot” mengajukan Gibran. Menurut Gibran berkali-kali PS meminta dirinya sebagai cawapres. Akankah meningkatkan elektabilitas baik untuk dirinya sebagai capres atau partai Gerindra dengan membawa Anak Jokowi plus relawannya.
Jika mengacu pada pilpres 2014 dan 2019, PDIP yang mengasuh Jokowi perolehan hasil Pemilu hanya naik tidak begitu signifikan sekitar 2 %.
Hasil “kemenangan” Jokowi pada pilpres 2019 sekitar 54% setara dengan jumlah suara dari koalisi partai pendukung Jokowi.
Lalu apa kebesaran relawan Jokowi hanya sekedar gelembung. Yang secara rutin dirawat istana.
Akankah demokrasi di Indonesia berupa Republik akan berubah menjadi monarki. Dimana sang Raja cawe-cawe, “memaksa” menetapkan penggantinya, apalagi putranya. Hanya untuk jalan penyelamatan. Daulat rakyat harus peka membaca.
[***]