Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Konstitusi mengatur prinsip dasar hukum negara, mengatur wewenang dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara di satu sisi, dan mengatur kewajiban pemerintah memberi perlindungan terhadap hak rakyat di lain sisi. Konstitusi Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Dasar (UUD).
Konstitusi mengalami empat kali perubahan (amandemen) selama periode 1999-2002. Salah satu perubahan mendasar adalah peran dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang harus dilihat sebagai satu-kesatuan yang saling terkait dan terikat.
Sebelum amandemen, peran dan fungsi MPR menurut konstitusi adalah:
• Memilih dan mengangkat Presiden sebagai mandataris MPR.
• Membuat GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai pedoman kerja strategis Presiden.
• Mengevaluasi kinerja (pertanggungjawaban) Presiden.
MPR juga berhak memberhentikan Presiden apabila Majelis menilai dan Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan atau pelanggaran konstitusi.
Berdasarkan rangkaian peran dan tugas MPR tersebut, GBHN hanya relevan kalau Presiden diangkat oleh MPR. Ketika Presiden bukan lagi mandataris MPR, maka proses pertanggungjawaban presiden dalam penyelenggaraan negara secara konstitusi berbeda.
Setelah amandemen konstitusi, peran dan tugas MPR mengalami perubahan. MPR bukan lagi pelaksana kedaulatan rakyat. MPR tidak lagi mempunyai hak memilih dan mengangkat Presiden, yang sejak 2004 dipilih secara langsung oleh rakyat (direct democracy).
Sebagai konsekuensi, MPR tidak perlu lagi membuat GBHN. Karena Presiden bukan lagi mandataris MPR, sehingga MPR tidak bisa mengikat Presiden melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan negara seperti yang diinginkan MPR (dalam GBHN).
Kemudian, dalam (kampanye) pemilihan langsung, Presiden wajib menyampaikan visi dan misi, serta janji-janji kampanye lainnya apabila terpilih sebagai Presiden. Misalnya janji memperkuat industri, mengurangi impor, menambah lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta janji-janji lainnya untuk menarik hati rakyat.
Karena itu, Presiden terpilih terikat dan wajib mewujudkan janji-janji kampanye tersebut. Sebagai konsekuensi, Presiden terpilih tidak bisa menjalankan kebijakan dan program kerja yang dibuat oleh pihak lain, termasuk MPR. Presiden tidak bisa menjalankan GBHN, yang sekarang dinamakan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Karena Presiden terpilih tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, tetapi kepada rakyat.
Sedangkan tujuan pemilihan Presiden langsung untuk mendapatkan Presiden terbaik melalui paparan visi dan misi untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Karena itu, janji tersebut harus diwujudkan.
Konstitusi pasca amandemen juga memangkas wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden. Hal ini melengkapi ketidakberdayaan MPR pasca amandemen: MPR tidak berhak memilih dan mengangkat Presiden, tidak berhak mewajibkan Presiden melaksanakan GBHN (PPHN), dan tidak berhak memberhentikan Presiden. Dengan demikian, GBHN dan PPHN tidak relevan di tengah sistem pemilihan Presiden langsung.
Apabila MPR memaksa Presiden terpilih untuk melaksanakan PPHN, maka MPR dapat dituduh menghasut Presiden mengkhianati Rakyat. Terutama kalau PPHN tersebut tidak sejalan dengan janji-janji kampanye.
MPR mungkin berharap, dengan PPHN bisa memastikan arah pembangunan bangsa dan negara menjadi jelas, dan bisa menjaga agar Presiden tidak bekerja seenaknya tanpa arah. Ini adalah kesalahan berpikir MPR yang fatal. Arah pembangunan bangsa dan negara sudah jelas tercermin di dalam kampanye.
Kalau MPR serius memikirkan bangsa ini, tugas MPR hanya satu. Yang pasti bukan bikin PPHN. Tetapi mengevaluasi apakah kinerja Presiden sudah tercapai sesuai janji kampanye.
Misalnya, dalam pemerintahan Jokowi, apakah janji kampanye tol laut, pertumbuhan ekonomi 7 persen, tidak menambah utang, tax amnesty akan meningkatkan (rasio) pajak, tax amnesty tidak berulang, kartu sembako murah, tolak impor pangan, persulit investasi asing, tidak menaikkan harga BBM dan listrik, bangun kilang minyak, buy back Indosat, dan banyak lainnya, sudah tercapai?
Kalau janji kampanye tidak terealiasi, dan presiden hanya memberi janji kosong, MPR wajib melarang Presiden yang gagal untuk bisa dicalonkan lagi. Itu kalau MPR serius memikirkan rakyat Indonesia. Bukan mengajukan amandemen konstitusi terkait PPHN yang dapat membuka pintu Kudeta Konstitusi.
[***]