Artikel ini ditulis oleh Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B
SETELAH canda ria para pejabat, menteri rezim Jokowi bahwa Covid-19 tidak akan ada di Indonesia, pada 2 Maret 2020, kasus positif pertama terjadi di Indonesia.
Respon spontan dan terlambat dari pemerintah, dibentuknya Gugus Tugas dengan Keppres No. 7/2020 tanggal 13 Maret 2020.
Kemudian diubah menjadi Keppres No 9/200 tanggal 20 Maret 2020 padahal 2 Maret 2020 kasus Covid-19 pertama diketahui.
Selanjutnya masih saja respon terlambat, Penetapan Bencana Nasional (Kepres 12/2020) tanggal 20 April 2020, padahal 9 April Covid-19 sudah melanda 34 provinsi.
Diskursus fokus penanganan Pandemi Covid-19 antara prioritas keselamatan dan perlindungan warga negara dengan penanganan ekonomi masih berlanjut sampai sekarang.
Seharusnya Pemerintah Pusat menggunakan UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat rinci.
Jika ini dilaksanakan kota Jakarta dan sekitarnya ditutup oleh rezim Jokowi sehingga tidak menyebar ke provinsi lain, sehingga biayanya juga tidak sebesar sekarang yang telah menyebar ke seluruh provinsi.
Penutupan secara ketat dilakukan oleh Cina dengan menutup Kota Wuhan dan provinsi Hubei secara ketat, sehingga tidak menyebar massif ke provinsi lain.
Seperti kita saksikan, secara cepat mereka bisa pulih dari pandemik Covid-19 serta korbannya jauh lebih sedikit dari Indonesia. Padahal Covid-19 berasal dari Cina.
Pemerintah Indonesia berkilah dengan mengeluarkan aturan baru mengenai PSBB yang sangat longgar dengan sanksi yang juga kabur, sebenarnya banyak bertentangan dan melanggar UU no. 6/2018 Tentang Kekarantinaan.
Semata karena Pemerintah Jokowi menghindar dari tanggung jawab dan menyerahkan kepada daerah. Namun ketika daerah akan melakukan secara ketat, malah direcoki sendiri oleh pemerintah pusat.
Faktanya sekarang data 21 September 2020 kasus positif sebanyak 248.852 kasus dengan tingkat kematian 9.677 (3,9 %). Prosentase maupun jumlah nyata kematian Indonesia tertinggi di ASEAN.
Data per tgl 11 September 2020 penduduk yang diuji 1.469.943 dari total penduduk 269 juta. Ini belum mencapai 1% dari total jumlah penduduk Indonesia. Sangat jauh dari rekomendasi WHO.
Berbagai pihak dalam skala global termasuk WHO mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencegah dan meluasnya Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Persoalan sekarang disamping sangat kedodoran mengatasi pandemik, pemerintah Jokowi juga tidak transparan dalam mengelola dana Covid yang konon mencapai Rp900 triliun lebih.
Artinya pemerintah Jokowi gagal dalam mengatasi dan melindungi rakyat dari menyebarnya Pandemik Covid-19. Responnya selalu terlambat ini akibat lemahnya kepemimpinan, tidak memiliki ‘grand’ strategi.
Kebijakan hanya dilakukan secara ‘ad hoc’, tidak terstruktur dan sistematis, kebijakan tumpang tindih, selalu berubah-ubah. Terakhir dengan penunjukan Luhut Binsar Panjaitan ditugasi fokus menangani 9 provinsi tertinggi penyebaran virus Covid-19.
Hal ini semakin menunjukan ketidakjelasan pemerintah pusat dalam manaherial melawan Covid-19. Gelombang pertama grafiknya tidak pernah melandai akan tetapi naik terus. Padahal 6 bulan lebih pandemi melanda. Sementara negara lain sudah menurun grafiknya dan bersiap jika ada gelombang kedua.
Akibat ketidakmampuan dan kegagalan Jokowi dimana Covid-19 semakin meningkat dan meluas di Indonesia, masih juga memaksakan kehendak untuk menyelenggarakan pilkada serentak yang secara pasti tidak akan bisa mengatasi kerumunan rakyat.
Berbagai pihak termasuk MUI, NU, Muhammadiyah telah meminta agar pilkada ditunda sampai dengan Covid-19 bisa diatasi. Kegaduhan politik yang seharusnya tidak perlu terjadi akibat ketidakjelasan penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Selain itu dampak ketidakjelasan, ketidak
mampuan dan kegagalan mengatasi Covid-19 telah mengakibatkan anjlognya pertumbuhan ekonomi hingga minus 5,3% pada kwartal kedua dan akan minus lagi pada kuartal ketiga dan juga keempat.
Besaran minus memang lebih kecil dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura, namun kemapanan rakyatnya secara ekonomi jauh lebih besar dari rakyat Indonesia.
Jika Pilkada serentak masih tetap akan diselenggarakan, akan semakin meningkatkan penularan Covid-19.
Membuat akibat yang akan lebih parah terhadap ekonomi nasional, bencana ekonomi akan terjadi, pengangguran akan meningkat pesat, last but not least kemiskinan rakyat meningkat, ketahanan nasional akan menjadi terancam.
Sebagai penutup tulisan saya sangat setuju apa yang dilakukan oleh Adam Vojtech, Menkes Republik Ceko mengumumkan pengunduran dirinya, setelah merasa gagal dalam menangani pandemi Covid-19 di negaranya.
Hal yang bijak seharusnya Presiden Jokowi juga melakukan yang sama karena telah gagal mengatasi bencana nasional Covid-19 serta bencana ekonomi, kepemimpinan Jokowi yang sangat lemah sudah disaksikan oleh rakyat dan negara lain dalam menangani Covid-19, sekitar 60 negara telah menutup pintu bagi rakyat Indonesia ke negaranya.