Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Hukum Tata Negara Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) yang ditentang oleh para tokoh kemerdekaan negeri ini masih membolehkan penduduk memilih pemimpin sendiri, meskipun berdasarkan adat.
Di sejumlah wilayah Nusantara waktu itu Hak Swapraja diberikan. Undang-undang negara hanya dapat berlaku kalau sejalan dengan Hak Swapraja.
Berdasarkan adat penduduk memiliki hukum dan peradilan sendiri dalam memilih pemimpin.
Sehingga di Wajo, Sulawesi Selatan, misalnya, orang berkata:
“Raja Kami Adalah Adat”.
Esensinya, ratusan tahun yang lalu nenek moyang orang Indonesia sudah mengajarkan demokrasi dalam memilih pemimpin melalui nilai-nilai kearifan lokal.
Karapatan Adat Nagari di Tanah Minang menetapkan standar moral bagi pemimpin, sehingga berlaku ungkapan:
“Raja Alim Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah”.
Di Barat monarki absolut berbagi kekuasaan dengan rakyat, sehingga lahirlah Magna Charta yang membatasi kekuasaan raja dan memberikan hak kepada rakyat untuk bersuara.
Di era pergerakan kemerdekaan pemimpin negeri ini umumnya hidup dalam mission sacre, semacam kewajiban suci yang mengedepankan etika dan moral dalam memimpin.
Karakter mereka umumnya tidak dirusak oleh financial capital yang menyuburkan korupsi, nepotisme, suap dan sogokan, seperti sekarang.
Mereka mampu memimpin dengan tidak berpura-pura merakyat. Sehingga Sukarno misalnya mampu menghasilkan konsepsi Marhaenisme karena kedekatan dengan rakyat.
Tan Malaka menulis Madilog karena penghayatan terhadap nasib bangsa.
Sutan Sjahrir menulis Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia). Tjokroaminoto menjadi simbolisme Ratu Adil, tumpuan perubahan.
Esensinya, mereka umumnya menjadikan kepemimpinan sebagai pengabdian, yang dengan sadar menempuh Via Dolorosa (Jalan Penderitaan).
Yang dalam ungkapan Belanda dikatakan:
“Leiden Is Lijden“. Memimpin Adalah Menderita.
Era pemimpin pura-pura merakyat seperti yang terjadi saat ini harus segera diakhiri. Kemunduran demokrasi yang terjadi sejak 7 tahun terakhir telah mendorong bangsa ini ke jurang kegelapan.
Menyeret rakyat ke dalam lorong suram tanpa harapan. Karena mekanisme memilih pemimpinnya ditentukan oleh oligarki.
Dalam catatan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, sejak kemerdekaan Indonesia belum pernah oligarki sangat berkuasa seperti di era Jokowi sekarang. Hal ini tidak terjadi pada masa Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Di masa itu, menurut Rizal Ramli, oligarki hanya berpengaruh dalam bidang ekonomi. Mereka memang bisa melobi, tetapi tidak bisa mengatur-atur kebijakan negara seperti saat ini.
Bagi oligarki sebenarnya keuntungan finansial dari sebuah proyek adalah relatif kecil bila dibandingkan dengan keuntungan mengubah-ubah kebijakan. Bagi mereka hal ini sangat lebih besar keuntungannya.
Misalnya perpanjangan konsesi pertambangan 20 tahun, dari UU Minerba di Omnibus Law bernilai ratusan miliar dolar, penghapusan royalti batubara lebih dari puluhan triliun, kerugian kesejahteraan buruh di UU Omnibus Law, dan sebagainya.
Oligarki berhasil memperkaya diri puluhan kali jika yang berkuasa dapat mereka atur. Apalagi didukung sistem otoriter dan Undang-undang ITE, karena kritik terhadap kebijakan bisa diredam.
Itulah sebabnya mengapa saat ini oligarki sibuk mempromosikan calon “boneka baru”, seperti Ganjar Pranowo dengan menyewa pollsterRp, influenserRp dan buzzerRp, termasuk kampanye media dan membangun persepsi palsu.
“Oligarki saat ini sedang mencari calon boneka yang pas untuk melanjutkan kebijakan pro Beijing,” tandas Rizal Ramli.
Note:
Hak Swapraja (Zelfbestuur) adalah daerah atau wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh bumiputera dalam urusan administrasi, hukum, dan budaya internal. Diatur di dalam Indische Staatsregeling yang berlaku sejak 1926.
[***]