KedaiPena.Com – Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, mahasiswa pecinta alam (mapala) mengalami berbagai tantangan. Mulai dari sistem akademik yang semakin ketat, mahalnya biaya perkuliahan dan berbagai berita negatif dari mapala.
Berita buruk tersebut, antara lain, kekerasan dalam pendidikan dan latihan dasar hingga mengakibatkan korban jiwa, serta berbagai perilaku buruk dari oknum anggota mapala seperti penggunaan narkotika, premanisme dan lain sebagainya.
Hal ini tentu berdampak kepada buruknya citra mapala dan menurunnya minat mahasiswa bergabung dalam organisasi mapala.
Selain itu, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kegiatan petualangan kini semakin mudah diakses, digeluti masyarakat dan berkembang menjadi bagian industri pariwisata (wisata petualangan) hingga menghadirkan beragam profesi dan bisnis baru yang menjanjikan.
Tidak hanya dalam industri pariwisata, kegiatan berbasis petualangan kini juga semakin berkembangan menjadi sebuah kegiatan olahraga prestasi tingkat dunia. Berbagai fenomena tersebut harus mampu disikapi dengan baik untuk menjaga eksistensi mapala di era modern ini.
Oleh karena itu digelar diskusi panel bertajuk ‘Quo Vadis Mapala, Membangun Paradigma Baru Mahasiswa Pecinta Alam’, belum lama ini.
Diskusi panel menghadirkan 17 narasumber, untuk berbagi pemikiran dari anggota mapala lintas generasi agar mendapatkan sebuah rekomendasi untuk pengembangan organisasi mapala. Acara juga dihadiri oleh 200 orang secara hybrid (offline & online) dari berbagai daerah di Indonesia.
Yasmin, Panitia Kegiatan mengatakan, dari diskusi panel ini, lahir rekomendasi arah pengembangan organisasi mapala.
“Pertama, melaksanakan pola pembinaan mapala dengan prinsip kolaboratif dari unsur universitas, pengurus organisasi, anggota aktif, pembina, pelatih, alumni, profesional) dan orang tua atau wali mahasiswa,” jelas Yasmin.
Kedua, sambung Yasmin, adalah pendekatan humanis. Artinya mapala melaksanakan pendekatan humanis dalam mengelola sumber daya manusia organisasi mapala menyesuaikan dengan karakteristik generasinya.
“Ketiga, menguatkan peran mapala dalam mengimplementasikan program kerjanya sesuai dengan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat),” lanjutnya.
Yasmin lalu menjelaskan hal keempat, yakni pendidikan berbasis kompetensi. Mapala harua menerapkan sistem pendidikan berbasis kompetensi yang berwawasan industri, sehingga terciptanya ‘link and match‘ antara proses pembelajaran di mapala dengan industri yang terkait, sehingga bisa mendukung jenjang karier bagi anggota mapala.
Kelima, lanjut Yasmin, adalah pengembangan program mapala berkelanjutan dengan konsep Sapta Lestari yang berorientasi kepada 7 bidang yaitu Organisasi, Petualangan, Olahraga Prestasi, Lingkungan, Kebencanaan, Wisata dan Edukasi
“Keenam, melaksanakan program kerja yang berorientasi kepada peningkatan prestasi bagi individu, organisasi mapala, perguruan tinggi serta bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Ketujuh adalah melaksanakan transformasi digital dalam pengelolaan sistem media informasi dan komunikasi mapala, khususnya untuk mempublikasikan berbagai hal-hal positif tentang mapala secara inovatif.
Laporan: Muhammad Rafik