ADA banyak faktor yang menyebabkan kekerasan terjadi meluas di Indonesia? Setidaknya saya mencatat ada tujuh faktor.
Pertama, faktor kekecewaan mahasiswa dan masyarakat pada performa elit politik yang buruk yang terjadi berulang-ulang sehingga akumulasi kekecewaan itu menumpuk.
Kekecewaan masyarakat itu misalnya terhadap praktek korupsi yang terus menerus dilakukan elit politik. Bagaimana rakyat tidak kecewa datanya di KPK dan ICW menyebutkan bahwa 61 % lebih kasus korupsi dilakukan oleh elit politik.
Kekecewaan itu menemukan kanalnya ketika rezim legislatif dan rezim eksekutif bersama-sama bersepakat melemahkan KPK melalui pengesahan UU KPK beberapa hari lalu.
Kedua, faktor kondisi ekonomi. Fakta angka pertumbuhan ekonomi yang melambat hanya sekitar 5.05% menunjukan berkurangnya peluang lapangan kerja bagi masyarakat.
Sehingga berdampak pada berkurangnya penghasilan masyarakat. Beban ekonomi keluarga cukup berat. Situasi ini mudah memicu kemarahan ditengah-tengah masyarakat.
Ketiga, faktor ketidakpastian masa depan anak-anak muda. Mereka adalah anak muda yang secara psikologis masih memiliki jiwa pemberontakan dan mudah membangun kesadaran kolektif, solidaritas dari entitasnya bahkan dari kerumunan sosialnya.
Fakta bahwa ada jutaan lulusan SMA/SMK (STM) sederajat yang menganggur menambah deretan kekhawatiran anak-anak SMK sederajat tentang masa depannya. Mereka kecewa pada elit politik yang tidak memberi perhatian serius kepada mereka, elit politik lebih senang memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya dibanding kepentingan jutaan anak anak SMK sederajat.
Situasi ini menemukan kanalnya ketika rezim legislatif (DPR) dan rezim eksekutif (Presiden) justru sibuk melemahkan KPK.
Keempat, faktor sistem politik yang dijalankan tidak sesuai dengan budaya politik pancasila. Nilai-nilai demokrasinya tidak dijalankan dengan baik, di saat yang sama kompetisi dan sirkulasi kekuasaan berlangsung sangat kontestatif liberalistik dan memicu emosi publik.
Akibatnya selalu menimbulkan ketegangan sosial dan keterbelahan sosial ditengah-tengah masyarakat. Politik berbau kontestasi SARA menjadi sulit dihindari.
Kelima, faktor kebijakan pusat yang dinilai kurang adil terhadap daerah sejak lama terjadi, ditambah lagi cara-cara aparatur keamanan negara dalam menangani berbagai problem didaerah yang sering menggunakan cara-cara represif telah membuat emosi rakyat di daerah mengalami eskalasi.
Di saat yang sama kecemburuan ekonomi kemudian muncul terhadap apa yang oleh orang daerah disebut pendatang. Ini artinya juga sedang terjadi penurunan rasa kebangsaan di tengah-tengah masyarakat karena negara abai merawat rasa kebangsaan masyarakat.
Mestinya diperkuat kesadaran bahwa penduduk lokal dan pendatang adalah sama sama warga negara Indonesia.
Keenam, faktor cara negara dalam menghadapi rakyat lebih dominan menggunakan cara represif dibanding cara dialogis dan kultural. Represifitas negara yang dominan dalam bentuk apapun akan membuat luka hati rakyat.
Seharusnya yang diutamakan dilakukan aparat negara adalah cara-cara dialogis dan kultural dalam menghadapi rakyatnya baik di pusat msupun di daerah. Termasuk cara aparat keamanan menghadapi para demonstran.
Ketujuh, elit politik lebih terlihat mengutamakan kepentingan kelompok oligarki politik dan oligarki ekonomi dibanding kepentingan rakyat banyak atau kepentingan nasional.
Fakta UU KPK, RUU KUHP, RUU Ketenagakerjaan dll adalah membenarkan fenomena itu. Watak elit semacam itu telah membuat kekecewaan semakin akumulatif.
Kuncinya, rezim legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) harus berubah dan merubah cara cara dalam mengatasi problem sosial ekonomi rakyatnya.
Jika tidak berubah, masih terus menggunakan cara cara kuno, cara represif, siap-siap berhadapan dengan rakyat banyak yang tumpah ruah menuntut tegaknya keadilan, kebenaran dan kemanusiaan bagi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masa depan negara dan bangsa Indonesia.
Oleh Ubedilah Badrun, adalah Analis Sosial Politik UNJ & Direktur Eksekutif ‘Center for Social Political, Economic and Law Studies (CESPELS)’