Artikel ini ditulis oleh Sugiyanto Emik, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Dua hari ke depan, tepatnya pada 27 hingga 29 Agustus, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta akan menerima pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pilkada serentak 2024, yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024.
Dalam konteks Pilkada tersebut, PDIP mungkin menghadapi dilema dalam memilih calon gubernur DKI Jakarta antara mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atau Anies Baswedan.
Sabtu kemarin (24-08-24), Anies Baswedan terlihat mendatangi DPD PDIP DKI Jakarta, yang bisa menjadi sinyal pendekatan politik. Sementara itu, loyalis Ahok, atau yang dikenal sebagai Ahokers, kemungkinan besar masih berharap PDIP akan mengusung Ahok dalam Pilkada Jakarta mendatang.
Meskipun kedua kandidat merupakan mantan gubernur Jakarta, mendukung Ahok tampaknya memberikan sejumlah keuntungan. Langkah ini bisa menjadi pilihan strategis bagi PDIP dibandingkan memilih Anies Baswedan
Terdapat setidaknya tujuh alasan logis mengapa PDIP sebaiknya mengusung Ahok daripada Anies Baswedan:
Pertama, Ahok adalah kader unggulan di PDIP, sementara Anies Baswedan bukan bagian dari PDIP. Sebagai kader PDIP, Ahok telah mengenal sistem jaringan partai dengan baik, sehingga posisinya lebih solid. Selain itu, Ahok juga telah menunjukkan loyalitas tinggi terhadap partai dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Bukti nyata dari loyalitas Ahok kepada partai adalah saat Pilpres Februari 2024 lalu, ketika ia memilih mundur dari jabatannya sebagai Komisaris Utama Pertamina. Keputusan ini diambil untuk fokus membantu dan memenangkan pasangan Capres dan Cawapres PDIP, di mana Anies Baswedan juga menjadi salah satu lawan politik dalam Pilpres tersebut.
Kedua, mendukung kader internal tidak hanya memperkuat posisi partai di mata publik, tetapi juga menunjukkan komitmen PDIP dalam mendukung anggotanya. Terlebih lagi, Ahok, sebagai kader PDIP, memiliki kapasitas kepemimpinan yang terbukti.
Ketiga, Ahok masih memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi, terutama di kalangan pemilih menengah ke atas di Jakarta, sementara PDIP kuat di tingkat akar rumput. Kombinasi ini bisa menjadi modal penting bagi PDIP dalam menghadapi persaingan politik yang ketat.
Keempat, Ahok memiliki rekam jejak kepemimpinan yang terukur selama menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dengan fokus pada efisiensi birokrasi, pembangunan infrastruktur, dan penataan kota. Di bawah kepemimpinan Ahok, program pembangunan Jakarta dinilai lebih efektif dibandingkan dengan periode Anies Baswedan. Ini sejalan dengan visi PDIP yang mengutamakan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik
Kelima, Ahok dikenal dengan sikap tegas dan lugas. Meskipun beberapa kebijakannya menuai kontroversi, ketegasannya dalam menghadapi berbagai masalah mencerminkan integritas dan keberaniannya. Dua kualitas ini mungkin tidak dimiliki Anies dalam kadar yang sama. Sikap tegas ini sangat penting dalam mengelola Jakarta yang dinamis dan penuh tantangan.
Keenam, Ahok yang pernah dipenjara atas kasus penistaan agama mungkin masih dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap politisasi hukum. Mengusung Ahok kembali mungkin bisa memperkuat citra PDIP sebagai partai yang berdiri melawan ketidakadilan dan mendukung penegakan hukum yang berkeadilan.
Ketujuh, dengan mengusung Ahok, PDIP mungkin dapat mengirimkan pesan kuat bahwa partai menolak segala bentuk politisasi agama dalam pilkada. Ini penting untuk menjaga stabilitas sosial dan menghindari konflik berbasis identitas yang mungkin pernah terjadi di masa lalu.
Dalam memilih calon gubernur, PDIP harus mempertimbangkan kriteria-kriteria tersebut untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik untuk kemenangan partai dan kesejahteraan Jakarta.
Mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur mungkin merupakan langkah strategis yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan mendukung Anies Baswedan. Argumentasi ini didasarkan pada faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya.
Jakarta, Minggu 25 Agustus 2024
[***]