DI DEN HAAG Belanda pada 1925 beredar brosur yang menyebut ciri-ciri primitif inlanders yang ditulis oleh seorang dokter jiwa terkenal yang biasa menangani pasien sakit jiwa (orang gila) di Eropa.
Dr Van Loon ini menyebut orang Indonesia semua bodoh, tidak sanggup bertukar pikiran (berdebat), otaknya primitif, dan tidak mampu menerima pendidikan.
Isi brosur tersebut menimbulkan kemarahan para mahasiswa Indonesia yang tergabung di dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda, sehingga menunjuk dr Latumeten untuk menantang Van Loon berdebat.
Dr Latumeten adalah ahli ilmu jiwa/dokter jiwa pertama Indonesia. Penggagas berdirinya rumah sakit jiwa untuk orang-orang gila. Namanya dijadikan nama sebuah jalan di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang terletak di depan Rumah Sakit Jiwa Grogol.
Sanggahan Latumeten sangat ilmiah, tajam dan jitu. Kesimpulannya, brosur Van Loon tersebut telah memperkosa ilmu psychiatri dan bermotif politik kolonial, supaya dunia luar memandang bangsa kita primitif sehingga membenarkan penjajahan Belanda.
Tujuan debat adalah untuk menunjukkan kebenaran terhadap sesuatu yang sedang dipermasalahkan. Debat dengan argumentasi yang benar yang didasari oleh data yang tepat merupakan cara untuk mendukung sesuatu yang ingin ditegakkan atau dijalankan.
Sjahrir, Hatta, Sukarno, Jenderal Sudirman, saling berdebat mengenai cara mempertahankan republik yang baru merdeka, sehingga dua opsi dijalankan: diplomasi dan gerilya. Agus Salim, Husni Thamrin, Sam Ratulangi adalah para jagoan debat di parlemen (Volksraad).
Sukarno-Natsir berdebat soal relasi agama dan negara. Hatta-Sukarno berdebat tentang bentuk negara. Hatta ingin negara serikat, Sukarno maunya kesatuan.
Secara kultural orang Indonesia sebenarnya suka berdebat sehingga dalam etnis tertentu bentuk sastra seperti pantun jadi keterampilan seni bersilat lidah. Risalah-risalah Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia isinya adalah perdebatan melulu yang menggambarkan dialektika pemikiran para pendiri bangsa yang ternyata lebih bermutu dari elit penguasa hari ini.
Jauh sebelum ramai pemberitaan tentang debat capres-cawapres yang difasilitasi oleh KPU dengan lebih dulu memberikan daftar pertanyaan (yang mengundang olok-olok publik), Rizal Ramli dalam kapasitasnya sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya sudah menunjukkan tradisi dan nyali berani berdebat untuk membuktikan kebenaran.
Waktu itu Rizal mengajak Wakil Presiden Jusuf Kalla berdebat mengenai proyek listrik 35.000 megawatt yang menurutnya sangat tidak realistis untuk diwujudkan, termasuk soal pembelian pesawat airbus oleh Garuda Indonesia yang akan lebih banyak merugikan BUMN tersebut. Pendapat Rizal Ramli ini beberapa bulan kemudian terbukti benar.
Fakta-fakta dari kebenaran itu dapat dilihat dari berbagai laporan di media massa.
Adapun Wapres Jusuf Kalla menyikapi tantangan debat dari Rizal Ramli tersebut lebih memilih bersikap normatif, tanpa argumentasi.
Tantangan debat lainnya juga ditawarkan Rizal Ramli kepada menteri keuangan terbaik yang katanya berkelas dunia versi IMF & World Bank, yang oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo disebut sebagai Sales Promotion Girl-nya IMF & World Bank, yaitu Sri Mulyani.
Rizal mengajak Sri berdebat soal utang.
Seperti diketahui dalam masa empat tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla utang pemerintah mencapai 4.000-an triliun. Namun pemerintah selalu mengklaim utang tersebut masih dalam level aman. Padahal telah mengakibatkan implikasi negatif bagi perekonomian masyarakat dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Merespon tantangan debat tersebut seperti halnya Jusuf Kalla, Sri Mulyani juga hanya mampu memperlihatkan sikap normatif dan menghindar dari kejaran pers, tanpa argumentasi yang seharusnya dia tunjukkan sebagai bentuk tanggungjawab seorang pejabat tinggi negara/bendahara negara yang berkaitan langsung dengan penanganan perekonomian rakyat.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior