BEBERAPA hari belakangan, berita mengenai tugu nama Gunung Bromo menyita perhatian ‘netizen’ di tanah air. Banyak yang mengritik bahwa tugu nama yang dibangun oleh Kementerian Pariwisata tersebut merusak pemandangan dan keindahan di Kawasan Gunung Bromo.
Tugu nama itu dianggap mengganggu lingkungan relijus orang-orang Tengger yang sangat mengsakralkan kawasan tersebut. Dan sebagian orang beranggapan bahwa bangunan berisikan tulisan tersebut harus dibongkar.
Jika berkaca pada dari sudut pandang pariwisata, terutama yang terkait pemasarannya, keberadaan bangunan seperti itu merupakan sesuatu yang lumrah saat ini. Tidak cuma jadi daya tarik wisata umum, tetapi juga di daya tarik wisata di kawasan konservasi.
Tugu nama yang menandakan sebuah daya tarik wisata pada kenyataannya sebenarnya hanya mengambil bagian yang sangat kecil dari sebuah kawasan wisata. Dan selama itu dibuat dan dirancang untuk menyatu dengan lingkungan sekitar, tentu saja tidak akan jadi masalah serta penempatannya tidak mengganggu aktivitas manusia.
Di beberapa destinasi wisata dunia, dengan status kawasan konservasi bahkan mereka tidak hanya menampilkan tugu nama besar, sebagai daya tarik wisatanya. Tetapi juga menambahkan beberapa fasilitas artifisial seperti ‘skywalk’ seperti di Grand Canyon, Amerika Serikat dan di Tiananmen, Cina, atau kereta gantung di Geopark Langkawi.
Apakah mereka merusak keindahan? Pada kenyataan hal tersebut justru semakin menarik wisatawan untuk datang ke kawasan wisata tersebut.
Justru sebenarnya ada isu-isu yang lebih besar yang harus disikapi yang dapat mengganggu kelangsungan hidup di kawasan wisata Bromo, yang selama ini justru tidak menjadi perhatian serius oleh masyarakat umum.
Terdapat dua hal yang harus menjadi perhatian, pertama tingginya jumlah kunjungan wisatawan ke Gunung Bromo yang melebihi daya dukung lingkungan yang ada. Walaupun pengelola TNBTS menetapkan sistem pendaftaran online, tetapi perlu disikapi dengan pengawasan yang ketat apalagi hal tersebut sangat berkaitan erat dengan aspek ekonomi masyarakat lokal.
Kedua, terkait dengan penggunaan kendaraan “jeep†untuk membawa wisatawan di kawasan Bromo. Disadari atau tidak, tekanan yang disebabkan oleh ratusan mobil tiap harinya akan mengganggu daya tahan lingkungan, serta gas karbonmonoksida dan berpotensi untuk mengganggu kehidupan flora dan fauna.
Walaupun memang belum pernah dilakukan penelitian terkait hal tersebut, potensi bahayanya harus dipikirkan dari sekarang.
Kondisi tersebut ternyata tidak menjadi pemikiran sebagian orang, bahwa ada potensi bahaya yang lebih besar terkait keberlanjutan kawasan Bromo. Dan bukan hanya sekedar heboh membahas tugu nama “Gunung Bromo†yang hanya memberikan dampak sangat kecil. ‘Think bigger for the future’.
Oleh Hery Sigit Cahyadi, Doktor Pariwisata STP Bandung