KedaiPena.com – Kebijakan proteksionisme AS dinyatakan turut mempengaruhi perekonomian Indonesia, terutama karena posisi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbuka yang sangat bergantung pada perdagangan internasional. Peningkatan tarif impor AS dapat mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia, terutama di sektor manufaktur dan tekstil, yang selama ini menjadi andalan untuk pasar global.
Ekonom Senior, Masyita Crystallin mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan ini bagi perekonomian Indonesia. Menurutnya kebijakan ini juga berpotensi memicu ketidakstabilan harga komoditas global.
“Indonesia, yang merupakan eksportir utama komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet, dapat terdampak oleh fluktuasi harga yang tajam akibat perang dagang global. Penurunan harga komoditas akan berimplikasi pada menurunnya pendapatan negara dari sektor ini, sekaligus mengurangi daya beli masyarakat di wilayah penghasil komoditas,” kata Masyita, ditulis Sabtu (25/1/2025).
Di sisi lain, langkah negara-negara mitra dagang AS untuk melindungi ekonomi domestik mereka dapat mempersulit akses produk Indonesia ke pasar internasional.
“Sebagai contoh, penerapan kebijakan anti-dumping atau hambatan non-tarif oleh mitra dagang utama seperti Uni Eropa dan China dapat memperkecil peluang ekspor Indonesia,” ucapnya.
Dari tantangan, Masyita melihat bahwa ini adalah kesempatan untuk memperkuat pasar domestik. Dengan mengalihkan fokus ke peningkatan konsumsi dalam negeri dan diversifikasi ekspor ke negara-negara lain yang potensial, Indonesia dapat memitigasi risiko dari kebijakan proteksionisme AS.
“Pemerintah Indonesia perlu mendorong inovasi di sektor industri dan mempercepat reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing produk lokal,” ucapnya lagi.
Ia berharap Indonesia bisa lebih mandiri dalam mengelola ekonominya. Pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk mendorong hilirisasi industri, sehingga nilai tambah produk Indonesia meningkat sebelum diekspor.
“Hilirisasi tidak hanya memperkuat perekonomian domestik, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat,” kata Masyita lebih lanjut.
Seperti diketahui, kebijakan “American First” yang diusung oleh Presiden Donald Trump sejak awal kepemimpinannya memunculkan kekhawatiran tidak hanya di kalangan seteru utama Amerika Serikat (AS) seperti China, tetapi juga di antara negara-negara sekutu seperti Uni Eropa (UE), Jepang, dan Korea Selatan. Narasi nasionalisme ekonomi ini dikhawatirkan dapat memicu eskalasi perang dagang yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global.
“Salah satu kebijakan utama yang diantisipasi adalah penerapan tarif impor hingga 25 persen untuk barang-barang yang masuk ke AS, termasuk tarif khusus sebesar 60 persen untuk barang-barang asal China,” paparnya.
Berdasarkan data dari situs Tax Foundation, penerapan skema tarif 10 persen dapat meningkatkan pendapatan AS hingga 2 triliun Dollar Amerika, sementara skema tarif 20 persen dapat menghasilkan 3,3 triliun Dollar Amerika selama periode 2025 hingga 2034. Namun, peningkatan pendapatan ini memiliki konsekuensi negatif berupa eskalasi perang dagang, yang dapat memicu respons balik dari negara-negara mitra dagang AS.
Sebagai contoh, Korea Selatan telah menyiapkan dana sebesar 10 triliun Won (sekitar Rp111,2 triliun) untuk menstabilkan rantai pasokan domestiknya sebagai langkah antisipasi. Langkah serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain untuk melindungi perekonomian mereka dari dampak kebijakan proteksionisme AS.
“Kebijakan moneter global saat ini cenderung menahan suku bunga dalam posisi konstan atau dinamis dalam rentang terbatas. Hal ini dilakukan sembari menunggu realisasi penuh dari kebijakan-kebijakan sensasional yang direncanakan oleh Presiden Trump,” paparnya lagi.
Tekanan-tekanan yang dilancarkan AS melalui kebijakan proteksionisme ini adalah bagian dari strategi agresif untuk memastikan posisi utama AS dalam perekonomian global. Kebijakan ini, meskipun berpotensi meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek, berisiko memicu ketegangan internasional yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi global.
“Negara-negara mitra dagang AS diprediksi akan terus meningkatkan langkah-langkah perlindungan ekonomi domestik mereka untuk menghadapi kebijakan tersebut,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa