AKIBAT wabah virus corona yang sudah menjadi pandemik, hampir seluruh pasar saham dan uang dunia mengalami goncangan. Termasuk pasar saham dan pasar uang Indonesia.
Tercatat bahwa rupiah sudah melemah sebesar 1.08% (ytd) dan pasar modal keluar sebesar Rp30.8 triliun hingga akhir Februari.
Rupiah pada Kamis (5/3/2020) tercatat Rp14.175 (turun 0.46% dari hari sebelumnya) dan IHSD tercatat terkoreksi ke bawah 0.37% dari kemarin menuju ke level 5,629.
Meskipun rupiah melemah namun pelemahan rupiah relatif lebih rendah dibandingkan negara lain yang lebih dalam seperti Won Korea Selatan melemah 5.07% (ytd), Bath Thailand melemah 6.42%, Ringgit Malaysia melemah 2.91%.
Pelemahan mata uang yang terjadi bulan Februari-Maret tersebut disebabkan dampak dari perilaku pasar yang panik dengan luasnya penyebaran virus corona.
Para investor melepas investasi portofolionya di berbagai negara untuk mencari safe heaven dari kemungkinan terburuk wabah virus corona. Portofolio yang keluar dari Indonesia tercatat Rp30.8 triliun (yoy) dengan rincian: surat berharga negara (SBN) Rp26.2 triliun, saham sebesar Rp4.1 triliun. Secata year to date, keluarnya asing di SBN Rp11 triliun dan saham Rp1,6 triliun.
Kenyataannya secara volume aset SBN lebih volatile keluar dibandingkan aset saham. Ini signal bahwa kedalaman pasar sekunder SBN masih perlu ditingkatkan lagi.
Dalam menyikapi gejolak Rupiah, Bank Indonesia melakukan triple intervention yaitu pertama, intervensi langsung di pasar spot melalui menjual valas untuk menahan rupiah bergerak ke bawah lebih dalam.
Kedua, intervensi dalam pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) di pasar derivatif valas domestik untuk mengarahkan level rupiah di jangka menengah. Ketiga, intervensi pembelian SBN yang dilepas asing (akumulasi aset SBN) untuk menjaga yield SBN dan pelemahan rupiah lebih lanjut.
Media melaporkan bahwa BI telah membeli SBN di pasar sekunder sampai Rp100 triliun sejak Januari sampai Akhir Februari 2020 artinya BI telah menghabiskan Rp50 triliun setiap bulan untuk menenangkan rupiah sekaligus menjaga Yield SBN yang sudah berubah dari 6.56% menjadi 6.95%.
Sedangkan berapa biaya intervensi di pasar spot dan pasar derivatif DNDF yang dikeluarkan BI tidak ada yang mengetahuinya. Para analis memperkirakan BI habis sekitar Rp150-200 triliun untuk total biaya dari triple intervention tersebut.
Meskipun secara year to date sampai Februari pelemahan rupiah lebih rendah daripada negara lain, namun secara biaya, jumlah yang dikeluarkan BI yang mencapai ratusan triliun merupakan angka yang cukup besar. Pertanyaannya apakah bila BI mengintervensi nominal biaya yang lebih kecil, maka rupiah bisa jatuh ke angka Rp15.000/USD?
Jika demikian logikanya maka, perilaku paniknya investor tersebut terkesan terus difasilitasi oleh BI. Oleh karena itu, investor spekulan selalu senang karena mengetahui BI akan mengeluarkan biaya yang demikian besar.
Jelas sekali, bahwa berapa pun biaya yang dikeluarkan BI selalu tidak cukup untuk menghadapi investor dengan mentality spekulan dengan memanfaatkan isu virus corona untuk profit taking. Harus ada koordinasi lintas otoritas dalam menghadapi gejolak rupiah karena penyebaran virus corona tersebut. Bila hanya BI sendiri, maka cepat atau lambat cadangan devisa berkurang dan hal tersebut menambah kerentanan gejolak rupiah di masa depan.
Wabah virus corona ini harus menyadarkan tim ekonomi Indonesia bahwa kekuatan ekonomi domestik dan structural reform urgen diperlukan untuk mendukung efisiensi dan produktifitas ekonomi sehingga eksposure rupiah terhadap asing berkurang.
Sudah saatnya otoritas lain seperti Kementerian Keuangan dan OJK terlibat aktif melakukan stabilisasi rupiah di jangka panjang. Setidaknya ada dua prioritas yang dapat dilakukan bersama otoritas fiskal dan OJK yaitu memperkuat sektor manufaktur Indonesia dalam rangka mempersempit defisit transaksi berjalan dan relaksasi aturan OJK sehingga perbankan baik BUMN dan swasta lokal dapat juga membantu BI mengakumulasi SBN se-banyak mungkin untuk pembiayaan pembangunan.
Ada dua epicentrum penyebab goncangan rupiah melemah yaitu pasar SBN (kontribusi epicentrum 85%) dan pasar modal (kontribusi epicentrum 15%). Kontribusi epicentrum gejolak Pasar SBN (85%) terhadap rupiah lebih besar dibandingkan pasar saham (15%). Bila pasar SBN diperdalam sehingga pasar sekunder SBN memiliki pemain besar diantaranya perbankan domestik dan korporat swasta selain Bank Indonesia maka setiap goncangan dapat diredam dilevel domestik.
Penguatan manufaktur Indonesia sangat diperlukan khususnya export oriented industry, karena akan menambah kekuatan cadangan devisa Indonesia melalui mengakumulasi DHE (Devisa Hasil Ekspor). Cadangan devisa yang kuat membuat rupiah tidak akan berombang-ambing dalam kepanikan investor seperi saat ini. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Arab Saudi dan Singapura, bagaimana cadev keduanya membuat kekebalan gonjangan nilai tukar.
Koordinasi dan kerjasama antara Bank Indonesia, OJK dan Kementerian Keuangan dalam meredam Rupiah akan lebih efektif daripada Bank Indonesia sendirian melalui intervensi triple yang telah menghabiskan ratusan triliun rupiah.
Oleh Achmad Nur Hidayat, Pengamat Kebijakan Publik dan Keuangan