‘GEOPARK‘ sebagai sebuah taman bumi memiliki sifat ‘botom up‘, yakni pergerakan masyarakat yang didukung langsung oleh pemerintah setempat pengembangannya.
Dari 11 keberadaan ‘geopark‘ yang berada di Indonesia, ada satu yang menarik perhatian penulis.
Penulis menyoroti keberadaan ‘Geopark‘ Ciletuh, Palabuhan Ratu yang berada di Sukabumi, Jawa Barat.
Ketertarikan penulis pada ‘Geopark‘ Ciletuh sendiri bermula saat ‘trip’ singkat yang dilakukan oleh penulis pada akhir Desember 2018.
Kala itu penulis melakukan ‘trip‘ untuk menjawab rasa penasaran akan keindahan alam yang ada pada kawasan geopark tersebut.
Perjalanan singkat namun berkesan tersebut penulis lakukan bersama keempat teman lainnya.
Penulis sendiri memilih Desa Tamanjaya. Berada di Kecamatan Ciemas, desa ini sebagai tempat transit pertama untuk memulai petualangan di kawasan yang ditetapkan sebagai ‘Geopark‘ oleh Unesco pada pertengahan 2018 ini.
Kesan pertama yang didapat oleh penulis kala menginjakan kaki di kawasan Ciletuh adalah luar biasa.
Kata ini dipilih lantaran selain menawarkan keindahan alam, di kawasan ‘Geopark‘ Ciletuh, penulis menemukan ketenangan, kenyamanan dan keramahan.
Hal tersebut yang membuat penulis menuangkan ‘trip‘ singkat ke Ciletuh ini dalam bentuk tulisan.
Di Tamanjaya, penulis bermalam dan beristirahat seusai berkegiatan.
Berbeda dengan tempat lain yang biasa penulis inapi ketika berlibur, ‘homestay‘ di Tamanjaya jauh dari kata kotor.
‘Homestay‘ merupakan sebutan bagi rumah-rumah warga yang dijadikan tempat menginap wisatawan.
‘Homestay‘ di desa ini tertata rapi, bersih wangi serta dilengkapi oleh sejumlah fasilitas penunjang.
Tidak hanya menjual fasilitas dan kerapihan, pemilik ‘homestay‘ tempat penulis pun sangat ramah, berbaur bahkan menghabiskan waktu untuk menemani para wisatawan sebelum berkegiatan di kawasan ‘Geopark‘ Ciletuh.
‘Homestay‘ tempat penulis menginap bernama ‘Guay’, atau dalam bahasa Sukabumi memiliki arti gerak. Homestay tersebut dimiliki oleh Boyo, seorang pemuda yang menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kawasan ‘Geopark‘ Ciletuh.
Alasan Boyo memulai menjadikan rumahnya sebagai sebuah ‘homestay’ sangat sederhana, yakni mengimplementasikan konsep dari ‘geopark‘ itu sendiri, pemberdayaan masyarakat.
Biaya menginap di ‘homestay‘ milik Boyo sendiri tidaklah terlalu mahal. Hanya dengan merogoh kocek Rp350.000 hingga Rp400.000 per malam, wisatawan sudah bisa menikmati fasilitas seperti dispenser, kamar mandi di dalam ‘homestay’ dan lain-lain.
Saat berbincang dengan penulis, Boyo pun menceritakan, bahwa ‘homestay’ juga menawarkan paket berwisata di Ciletuh.
Paket tersebut, biasanya menawarkan perjalanan ke sejumlah tempat wisata dengan rekomendasi terbaik di Ciletuh.
Penulis pun mendapatkan pemahaman dari Boyo, bahwasanya sistem wisata yang dipakai di ‘Geopark‘ Ciletuh merupakan ‘sustainable tourism‘ alias wisata berkelanjutan.
Sistem ini sendiri diterapkan oleh hampir pemilik homestay di kawasan ‘Geopark‘ Ciletuh.
Profesionalnya tata kelola ‘homestay’ di Desa Tamanjaya kawasan Ciletuh didasari oleh banyak pelatihan serta bantuan soal pengelolaan wisata yang diberikan oleh BUMN dan perusahaan swasta.
Pelatihan tersebut pertama kali digagas oleh Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi).
Boyo sendiri juga merupakan bagian dari kelompok geopark Ciletuh. Berkat pelatihan dan seminar-seminar yang ia dapat saat berkegiatan di Papsi, Boyo kini jauh lebih siap untuk mengelola ‘homestay‘ yang ia miliki.
Dalam ‘trip‘ singkat di Ciletuh, penulis sendiri menemukan hal menariknya lain. Penulis melihat tidak hanya ‘homestay’ yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
Di Ciletuh sebuah tempat wisata turut dikelola secara swadaya oleh warga lokal.
Hal tersebut ditemukan saat penulis mengunjungan Bukit Panenjoan yang masih berada di desa Tamanjaya, Kecamatan Ciemas.
Ialah Ade Setiawan, salah satu masyarakat Ciletuh yang mengelola dan mengembangkan destinasi wisata di Ciletuh dengan uang pribadinya.
Ade sendiri merupakan pemilik dari Bukit Panenjoan.
Tempat ini merupakan tempat wisata alam yang menjual pemandangan indah di kawasan Ciletuh.
Bukit Panenjoan memiliki sejarah unik, pada masa penjajahan digunakan sebagai tempat untuk memantau kedatangan para tentara Jepang ke tanah Sukabumi.
Kang Ade, sapaannya, membuka tempat wisata Bukit Panenjoan para 2013, jauh sebelum Ciletuh ditetapkan sebagai ‘geopark‘ dunia.
Ia juga mengelola Bukit Panenjoan menggunakan uang pribadinya untuk pemeliharaan dan pengembangan tempat wisata.
Bukan tidak berani meminjam uang di bank, namun Kang Ade ingin mewujudkan ‘motto‘ dari ‘geopark‘ itu sendiri yakni memuliakan bumi, menyejahterakan masyarakat dengan berdiri di atas kaki sendiri.
Penulis sendiri tidak berhenti dibuat takjub saat berada di Bukit Panenjoan. Pasalnya, dari bukit tersebutlah hampir setengah wilayah ‘Geopark‘ Ciletuh terlihat.
Kala itu rasa lelah dan kurang tidur pun hilang lantaran rasa takjub melihat keindahan dari atas Bukit Panenjoan.
Selain Bukit Panenjoan, tempat wisata lain yang dikelolah secara swadaya oleh masyarakat lokal ialah Curug Awang.
Air terjun ini merupakan satu merupakan satu dari delapan curug besar yang berada di kawasan Geopark Ciletuh. Curug Awang memiliki ketinggian 45 meter dengan lebar 65 meter.
Curug Awang menjual ‘view‘ keindahan. Banyak yang menyebut curug ini mirip dengan Niagara, air terjun besar di sungai yang berada perbatasan internasional antara negara bagian New York, Amerika Serikat dengan provinsi Ontario, Kanada.
Letaknya berjarak sekitar 17 mil (27 km) sebelah utara barat laut dari Buffalo, New York dan 75 mil (120 km) tenggara Toronto, Ontario.
Curug Awang sendiri dikelola oleh Sohilin bersama keluarga. Ia bersama keluarga mengelola lahan parkir yang merupakan tanah warisan sang orang tua. Tidak hanya lahan parkir, Solihin berserta keluarga juga menjajakan makanan ringan dan minuman di Curug Awang.
Meski sebagian besar pembangunan jalan untuk menuju Curug Awang serta ketersedian toilet bersih dibiayai dan didanai oleh Dinas Pariwisata setempat, namum tetap saja Solihin beserta keluarga mengelola secara swadaya Curug Awang.
Untuk masuk Curug Awang sendiri pengunjung tidak dikenakan biaya. Pengunjung hanya membayar biaya parkir yakni mobil sebesar Rp 10.000 dan motor Rp 5.000. Uang tersebut digunakan untuk melakukan peremajaan kawasan Curug Awang.
Selain bukit dan curug, pengelolaan sebuah destinasi wisata secara swadaya mandiri juga terjadi di Pantai Palangpang, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat. Kawasan ini juga menjadi bagian dari kawasan ‘Geopark’ Ciletuh.
Pantai ini tidak hanya menjual pemandangan serta permainan air saja. Lebih dari itu, di Pantai Palangpang wisatawan juga dapat menjajal sensasi terbang di ketinggian menggunakan ‘paramotor‘.
Bermodalkan uang Rp600.000 kalian dapat menikmati sensasi tersebut bersama operator paramotor Riko Legent yang memang kerap membuka kesempatan bagi wisatawan untuk melihat ketinggian dari Pantai Palangpang.
Sama seperti Boyo, Kang Ade dan Solihin, Rico Legent juga menjadi salah satu orang yang ingin mengembangkan potensi dan kekayaan alam Ciletuh melalui olahraga ‘paramotor‘.
Meski, bukan warga asli Ciletuh, Riko Legent berkeinginan agar masyarakat luas khususnya wisatawan dari luar Ciletuh dapat melihat secara langsung kekayaan alam dan keindahannya.
Kepada penulis, Riko bercerita bahwa dirinya juga melibatkan sejumlah masyarakat lokal Ciletuh. Hal itu dilakukan untuk memberdayakan masyarakat lokal Ciletuh. Riko juga berharap agar potensi ‘paramotor‘ di Ciletuh dapat terus berkembang.
Meski tidak sempat mencoba ‘paramotor‘ secara langsung, penulis sendiri sempat melihat langsung kendaraan yang digunakan untuk ‘paramotor‘. Khusus yang saat itu berada di Ciletuh sendiri ialah kendaraan ‘paramotor‘ bermesin 500 cc.
‘Paramotor‘ sendiri adalah paralayang dengan menggunakan mesin bermotor sebagai tenaga pendorong, bukan hanya angin. ‘Paramotor‘, jauh lebih ‘safety’ dari olahraga paralayang lantaran keberadaan rangka yang menjaga pilot dan penumpang.
Pilot sebutan bagi pengendara paramotor, kata dia, juga seperti sama seperti paralayang yang berlisensi. Mereka yang menjadi pilot biasanya juga sudah paham berbagai macam kondisi saat melakukan penerbangan.
Penulis sendiri cukup terkesima dengan gerakan kemandirian yang dibangun oleh kawan-kawan di Ciletuh. Mereka tidak menunggu adanya uluran tangan bantuan dari pemerintah daerah atau pusat. Mereka bergerak secara swadaya demi terbentuknya kemandirian dalam pengelolaan wisata di ‘Geopark‘ Ciletuh.
Penulis pun mendapatkan informasi bahwa gerakan swadaya masyarakat ini sendiri dimulai oleh kelompok Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi). Kelompok ini sendiri yang juga menjadi kelompok yang memperjuangkan status ‘Geopark’ Ciletuh hingga berhasil ditetapkan oleh Unesco.
Apa Itu Papsi? Singkatnya, Papsi merupakan gerakan kelompok yang menginiasiasi agar kawasan Ciletuh dapat menjadi kawasan ‘Geopark’. Gerakan Papsi sendiri dimulai pada tahun 2013, kala itu mereka menyosialisasikan arti dari ‘geopark’ ke masyarakat hingga anak-anak di sekolah tingkat SD, SMP sampai SMA.
Penulis sempat berbincang dengan salah satu anggota Papsi yang bernama kang Asep. Ia merupakan Kepala Pengelola Kepala Pengelola Museum Konservasi dan ‘Arboretum Geopark Ciletuh’, Pelabuhan Ratu yang masih berada di Desa Tamanjaya, Kecamatan Ciemas.
Kang Asep dalam ceritanya kala itu, menuturkan bahwa Papsi juga mendapatkan sejumlah pelatihan dari peneliti dan mahasiswa serta kepemanduan, ‘rescue‘, P3K dan pendataan sebelum benar-benar terjun ke lapangan.
Papsi juga membuat kelompok binaan masyarakat bekerjasama dengan sejumlah dinas pemerintahan, instansi, universitas seperti, kerajinan, ‘homestay‘, sablon, musik, konservasi, kuliner, pertanian. Keuletan yang dibangun dari tahun 2013 ini peralahan mulai memberikan efek positif.
Pasalnya, kata Kang Asep, yang kini juga menjabat Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Unesco, bahwa hanya ‘Geopark’ Ciletuh yang memiliki kelompok masyarakat seperti Papsi. Hal ini jauh berbeda dengan geopark lain yang lebih kepada pengelolaan lembaga desa.
“Karena yang terpenting bagi kami (Papsi) masyarakat Ciletuh semua harus sejahtera,” singkat kang Asep dalam perbincangan dengan penulis.
Sempitnya waktu perjalanan penulis, membuat penulis tidak bisa banyak melancong ke destinasi-destinasi wisata lainya di Ciletuh. Meski demikian, penulis belajar soal banyak hal di Ciletuh yakni kemandirian ekonomi yang memang menjadi cita-cita dari para ‘founding fathers’.
Penulis pun memetik pelajaran dalam ‘trip’ singkat ke Geopark Ciletuh. Bagi penulis petualangan sesungguhnya bukanlah soal seberapa tinggi gunung yang kita daki atau seberapa dalam lautan yang kita selami. Karena petualangan sesungguhnya ialah saat kau dapat memetik dan belajar sesuatu dari perjalanan yang kau lakukan.
Hal itu jauh berharga dari apapun. [***]
Oleh Muhammad Hafidh, Jurnalis Kedai Pena. Tulisan ini juga dipublikasi dalam buku ‘Dari Tangan Pertama’ yang dirilis dalam acara Outfest, bulan Agustus 2019