Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta & CEO Narasi Insitute.
Kampanye jelang Pilpres 2024 telah memasuki fase intensif, melibatkan sejumlah partai politik, calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres), serta calon anggota legislatif (caleg).
Terlihat bahwa sejumlah tokoh dan politisi semakin aktif dan intens menggunakan media sosial sebagai platform komunikasi dengan masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan perkembangan pesat dalam metode kampanye politik, terutama melalui kampanye digital. Menghadapi Pemilihan Umum 2024, diskursus mengenai peran kampanye digital dalam proses politik Indonesia semakin relevan.
Secara umum, kampanye dapat diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan oleh calon atau partai politik untuk mempengaruhi pemilih agar memilih mereka dalam pemilihan umum.
Dalam era teknologi ini, kampanye digital menjadi tren yang signifikan dengan memanfaatkan platform dan alat digital seperti media sosial, situs web, email, dan iklan online.
Perbedaan mendasar antara kampanye digital dan kampanye konvensional terletak pada media yang digunakan dan cara pesan yang disampaikan.
Kampanye digital lebih fleksibel dan dapat menyasar audiens yang lebih tepat sasaran berkat algoritma dan data pemilih yang tersedia. Sasaran kampanye digital dapat lebih spesifik berdasarkan data demografis, minat, dan perilaku online pemilih.
Kampanye digital memanfaatkan teknologi untuk berinteraksi dengan pemilih secara real-time dan memiliki biaya yang lebih rendah dibanding kampanye konvensional.
Ini membuatnya lebih inklusif karena tidak memerlukan anggaran besar. Kampanye lewat media sosial menjadi senjata ampuh untuk menggaet pemilih, terutama pemilih muda, mengingat generasi millennial dan Z mendominasi pengguna internet di Indonesia, yang akan menguasai total pemilih pada 2024.
Tingkat efektivitas kampanye digital bervariasi tergantung pada strategi dan pelaksanaannya. Namun, keunggulan dalam real-time engagement, biaya yang lebih rendah, dan kemampuan untuk mengukur hasil secara langsung melalui data analitik membuatnya efektif, terutama dalam mencapai generasi muda.
Banyaknya calon yang melakukan kampanye di media sosial akan memberikan pendidikan politik bagi publik, baik dari sisi positif maupun negatif. Peningkatan penyebaran hoaks atau misinformasi menjelang Pemilu 2024 menjadi bukti akan dampak dari kampanye digital.
Kampanye digital memiliki dampak besar terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Ini memberikan kesempatan pada pemilih untuk lebih terlibat dalam proses politik, menyebarkan informasi, dan memberikan suara mereka.
Meskipun demikian, muncul tantangan terkait penyebaran berita palsu (hoaks) dan risiko privasi data, menunjukkan perlunya regulasi yang tepat dan pendidikan politik yang kuat.
Pihak berwenang harus aktif dalam memantau dan menanggapi pelanggaran etika kampanye digital. Perlindungan data pemilih dan keamanan digital juga harus menjadi prioritas. Selain itu, monitoring media sosial yang ketat dan terukur juga diperlukan.
Para calon dan partai politik memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan politik kepada masyarakat dengan menyajikan konten yang berkualitas. Untuk memastikan demokrasi yang berkembang dan pemilu yang berkualitas tinggi, semua orang harus bertanggung jawab menjaga ruang digital di tengah gempuran isu masalah pemilu.
Langkah dan pencegahan hoaks, disinformasi, malinformasi di ruang digital harus terus digalakkan. Konten yang dihadirkan tidak hanya untuk menarik simpati pemilih, tapi juga memiliki nilai yang sifatnya mendidik politik masyarakat dan tidak melanggar aturan perundang-undangan.
Dengan memanfaatkan potensi positif kampanye digital dan mengatasi tantangan yang muncul, Indonesia dapat memajukan perkembangan demokrasi di era teknologi informasi. Ini adalah tantangan yang perlu dihadapi dan dimanfaatkan secara bijak dalam pemilihan umum mendatang.
[***]