Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Energi.
Pertanyaan Cawapres Gibran soal greenflation memang bukan pertanyaan buat Mahfud MD saja, namun ini adalah pertanyaan buat semua pengambil keputusan di negara ini. Sebuah pertanyaan mendasar terhadap masalah transisi energi dan konsekuensinya pada harga energi itu sendiri dan harga kebutuhan hidup lainnya.
Secara khusus transisi energi di Indonesia sangat terkait dengan usaha liberalisasi sektor ketenagalistikan. Liberalisasi ketenagalistrikan dipersyaratkan oleh investor yang hendak masuk dalam melakukan investasi energi baru terbaharukan (EBT). Investor meminta adanya liberalisasi investasi dalam pembangkit, liberalisasi dalam jaringan listrik dan tarif listrik yang harus disesusikan dengan harga pasar. Dengan jalan ini maka investor dapat meraih keuntungan yang besar dalam bisnis listrik. Ujung dari liberalisasi ketenagalistrikan adalah harga listrik akan naik.
Sementara di Indonesia ketenagalistrikan berada dibawah penguasaan negara, dijalankan melalui badan usaha milik negara, negara mengalokasikan subsidi listrik sehingga pemerintah menetapkan harga listrik sesuai dengan kemampuan ekonomi atau kemampuan rakyat. Sehingga adanya investasi listrik swasta dalam pembangkit listrik tidak menghilangkan kedaulatan negara atas listrik. Semua listrik yang dihasilkan dibeli oleh PLN dan didistribusikan melalui jaringan listrik yang berada didalam kontrol negara melalui PLN.
Memang ada masalah saat ini yakni adanya kelebihan kapasitas produksi listrik nasional atau listrik mengalami over suppy karena investasi pembangkit yang cukup banyak baik swasta maupun PLN sendiri. Keadaan ini mengakibatkan subsidi listrik makin membesar. Subsidi listrik meningkat dari waktu ke waktu juga disebabkan juga oleh kenaikan harga energi primer yakni BBM solar, gas dan juga perubahan harga batubara.
Di saat terjadi over supply listrik ini pemerintah diminta untuk melakukan transisi energi, membuka investasi baru dalam sektor EBT, yang tentunya akan menambah pasokan listrik nasional. Sementara konsumsi listrik belum mengalami peningkatan dikarenakan ekonomi masih menyelesaikan dampak covid 19 dan krisis ekonomi global yang menghantui dunia. Salah satu sektor investasi listrik EBT yang saat ini menjadi incaran investor adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Investasi diharapkan oleh banyak pihak akan meningkatkan penjualan solar panel dan seluruh perangkat PLTS Atap, meningkatkan kredit perbangkan ke sektor EBT, dan lain sebagainya.
EBT Masih Mahal
Secara umum investasi EBT masih merupakan investasi yang relatif mahal, hal ini dikarenakan lingkungan ekonomi yang belum mendukung, industri nasional belum berkembang, bahan baku impor, sumber daya manusia masih terbatas, serta dukungan keuangan dari perbankkan yang masih lemah karena faktor resiko investasi yang masih tinggi. Akibatnya investasi EBT seperti misalnya PLTS selalu menuntut harga listrik yang tinggi. Dengan kata lain investor menuntut PLN membeli listrik yang dihasilkan oleh EBT dengan harga yang tinggi.
Dengan demikian maka jika terjadi pembukaan investasi dalam PLTS atap secara massal maka besar kemungkinan akan terjadi pembengkakan subsidi atau jika subsidi tetap maka keuangan PLN akan tertekan. Satu sisi PLN terbeban membeli listrik swasta non EBT pada kondisi over supply sekarang harus membeli listrik EBT yang dihasilkan secara massal melalui PLTS atap. Tidak hanya itu PLN akan kehilangan pelanggan listrik karena rumah tangga atau industri telah menghasilkan listrik sendiri melalui PLTS atap. Semua resiko ini belum terkalkulasi dengan baik jika kebijakan ini dipaksakan.
Namun tekanan transisi energi memang cukup kencang, baik karena adanya komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi sesuai dengan perjanjian internasional yang telah ditandatangani, juga adanya tekanan dari pelaku usaha, para importir dan pebisnis PLTS atap yang menancapkan pengaruhnya di pemerintahan dan legislatif. Sehingga pemerintah perlu mengambil langkah terbaik yakni menyelamatkan keuangan negara, menyelamatkan keuangan PLN dan menjaga harga listrik yang sesuai dengan daya beli masyarakat.
Regulasi Jalan Tengah
Menurut kabar perkembangan revisi aturan PLTS atap tampaknya pemerintah akhirnya mau membuka peluang bagi investasi PLTS atap. Namun dengan syarat tidak ada jual beli listrik antara pemilik PLTS atap dengan PLN. PLTS atap diperbolehkan untuk keperluan sendiri dan bukan untuk dijual belikan dengan PLN. PLTS atap juga dapat membuat storage menyimpan listrik untuk keperluan sendiri.
Kebijakan ini memberi peluang bagi peningkatan produksi listrik EBT oleh masyarakat dalam usaha berkontribusi bagi transisi energi dan penurunan emisi tanpa membebani keuangan negara atau PLN. Selain itu investasi PLTS atap tanpa jual beli listrik dengan PLN tidak akan menggangu harga atau tarif dasar listrik yang berlaku. Meskipun demikian investasi ini jika berlangsung secara luas PLN akan kehilangan penjualan listrik terutama di kelompok masyarakat menengah ke atas.
Tinggal satu masalah yang harus diselesaikan pemerintah dalam memuluskan transisi energi di masa depan adalah bagaimana mengatasi over suppy listrik yang terjadi saat ini terutama di Jawa Bali. Caranya adalah bagaimana meningkatkan industrialisasi, hilirisasi komoditas secara luas. Hanya dengan industrialisasi melalui hilirisasi seluruh komoditas (sekitar 21 komoditas strategis) maka konsumsi listrik dapat ditingkatkan dan over supply listrik PLN dapat diatasi. Kuncinya pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi.
[***]