KEMARAHAN publik atas produk legislasi ‘Omnibus Law‘ diakibatkan minimnya jatah ‘kue’ ekonomi yang akan tercipta bagi mayoritas masyarakat dan juga kepada kelestarian lingkungan hidup.
‘Omnibus Law‘ digadang akan memberikan pertumbuhan ekonomi, tapi angka pertumbuhannya dan jumlah lapangan kerja yang bertambah tidak pernah tersampaikan. Nyatanya ‘Omnibus Law’ hanya diperuntukkan untuk kepentingan kaum satu persen orang terkaya.
Kemudahan pajak, kemudahan perpanjangan izin ekstraktif, pengekangan kelas pekerja, semua adalah kepentingan orang-orang terkaya, para pemilik pabrik dan para pengeruk kekayaan alam.
Film dokumenter “The Sexy Killers” karya Dhandy Laksono telah menggambarkan dengan sangat baik oligarki antara pengusaha pengeruk kekayaan alam dan pejabat negara yang saling berkelindan.
Pada saat Indonesia masuk ke dalam jurang resesi di tengah wabah Covid, jaring pengaman hanya diberikan untuk orang kaya. Yang kaya dari merusak lingkungan dibiarkan makin kaya, pajak dihapus, sedangkan rakyat dibiarkan menderita di tengah kerusakan lingkungan.
Bantuan sosial dikorupsi birokrasi, rumitnya birokrasi membuat penanganan wabah semakin lama, UKM dibiarkan hancur tanpa bantuan, maka masyarakat kecil dan menengah adalah yang paling menderita saat ini.
Sementara bagi para oligark. Karena mereka berkuasa di pemerintahan, pada saat krisis datang, yang didahulukan untuk diselamatkan hanya kalangan mereka. Dalam hitungan hari saja (bandingkan dengan dana bansos yang berbulan-bulan), dana talangan ratusan triliun langsung turun dari Bank Indonesia dan Kemenkeu untuk menyiram pasar keuangan.
Digunakan untuk membeli kembali (‘buy back’) saham-saham mereka yang rontok dan digunakan untuk menyangga nilai kurs Rupiah. Padahal upaya penyelamatan ekonomi seperti ‘buy back’ saham dan pembelian surat utang ini tidak akan berguna, karena pasar saham dan nilai Rupiah pasti akan jatuh lagi dalam beberapa waktu ke depan selama vaksin belum ditemukan.
Jadinya nanti ratusan triliun rupiah yang telah dikucurkan menjadi sia-sia karena hanya memperkaya para spekulan pasar saham dan valas, tapi perekonomian yang riil tetap jatuh.
Padahal dapat dibayangkan dampaknya bagi masyarakat bila uang ratusan triliun tersebut dialirkan langsung ke masyarakat. Daya beli masyarakat akan bertahan, barang-barang dan jasa hasil industri dapat kembali dikonsumsi. Sehingga akhirnya roda ekonomi dapat kembali berputar dan membaik.
Kebijakan yang timpang dan salah arah ini, mendahulukan penyelamatan yang kaya dan mengabaikan mayoritas masyarakat, akan semakin memperburuk perekonomian dan juga semakin menyulut amarah publik.
Bila tidak ada tindakan yang drastis dari pemerintah dan DPR, dikhawatirkan kemarahan ini akan semakin berakumulasi, meluas, dan akhirnya tidak terbendung lagi. Bukan tidak mungkin perubahan politik yang lebih mendasar dapat menjadi ujung dari semuanya.
Maka, sebelum semuanya terlambat, tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain dengan segera membatalkan pengesahan Omnibus Law dan kembali fokus pada pemulihan ekonomi masyarakat kecil dan menengah.
Kami mengusulkan harus ada bantuan sosial berbentuk dana talangan yang dapat mempertahankan daya beli masyarakat.
Jumlahnya sekitar Rp 600-800 ribu/bulan dan langsung sampai di setiap masyarakat membutuhkan. Apakah itu pengangguran, anak jalanan, pengemis, buruh harian, buruh tani, hingga pedagang keliling, semua harus mendapatkan dana talangan tersebut. Untuk itu dapat meminta bantuan BUMN-BUMN Perbankan seperti BRI dan BNI.
Setiap masyarakat yang membutuhkan dana bantuan sosial tersebut, harus membuat rekening di bank-bank BUMN tersebut.
Dengan menyalurkan dana bantuan sosial melalui saluran perbankan (transfer) akan meminimalisir korupsi oleh birokrasi, sekaligus juga memperbesar Bank BUMN tersebut karena penambahan nasabah.
Keuntungan lainnya adalah pemerintah menjadi memiliki data yang spesifik dari para penerima bantuan sosial, sehingga ke depannya kebijakan penanganan sosial akan lebih terarah dan efektif. Jadi di tengah krisis, kita tetap dapat memanfaatkan situasi untuk menggairahkan perekonomian kembali menuju situasi yang lebih adil.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Limgkar Studi Perjuangan (LSP)