Artikel ini ditulis oleh Agustinus Edy Kristianto, Wartawan Senior.
Sebagai salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga dunia, pernyataan Presiden Jokowi, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, amat cetek dan tidak menunjukkan karakter-kualitas seorang pemimpin yang kuat.
Ia menekankan soal tangga yang curam dan pintu yang tertutup. Itu tidak salah. Persoalan teknis semacam itu yang berkelindan dengan masalah manajemen pertandingan, audit bangunan dst memang penting ditelisik.
Tapi, mengapa Jokowi menafikan masalah gas air mata yang jelas-jelas menjadi sinyal kuat ada yang tidak beres dalam tata kelola politik keamanan dalam negeri?
Memerintahkan audit menyeluruh dan pembentukan tim independen pencari fakta tidak cukup kuat menunjukkan sinyal kepada masyarakat bahwa Jokowi adalah pemimpin yang mumpuni untuk melakukan perubahan mendasar, yang mampu mengikat solidaritas nasional ke arah perubahan itu.
CNN Indonesia dan Koran Tempo mempertanyakan soal gas air mata itu. Media-media asing, dalam status sebelumnya saya contohkan The New York Times, memperkarakan ‘politik pengamanan’ oleh Polri.
Makin ke sini, sinyal itu makin kuat, ditunjukkan oleh pemberitaan The Diplomat, The Guardian, ESPN, The Conversation.
Bloomberg, bahkan menempatkan berita Kanjuruhan di kanal Politik, bukan olahraga, untuk menekankan pesan bahwa ini tak sekadar soal teknis olahraga tapi masalah kepemimpinan politik.
Yang diulang-ulang adalah pernyataaan Jokowi pada 2016, saat melantik Tito Karnavian sebagai Kapolri, yakni reformasi menyeluruh Polri adalah kunci masa depan. Reformasi dimaksud menyangkut perubahan mental dan perilaku Polri.
Ditangkap oleh masyarakat bahwa reformasi itu menyangkut tiga segi: struktur, kultur, dan figur. Sekarang, ketika menemukan konteks dalam peristiwa Kanjuruhan, kenapa barang itu dinafikan?
Seharusnya reformasi Polri itulah yang menjadi bak tiang awan Musa yang menerangi bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir dan itulah yang perlu ditekankan oleh Jokowi. Tim independen, audit menyeluruh, evaluasi PSSI dan sebagainya adalah turunannya.
Fanatisme dalam sepakbola yang menjadi dasar kemunculan brutalisme, hooliganisme ada di mana saja dalam sejarah sepakbola. Tapi, setiap peristiwa dan wilayah memiliki latar belakang, konteks dan karakteristiknya masing-masing.
Di Rusia, misalnya, dianggap bahwa Dynamo adalah klubnya KGB, CSKA milik Angkatan Darat, Lokomotive milik pekerja kereta api, dan Spartak kelompok independen.
Dynamo Zagreb, klub Kroasia, nama pendukungnya The Bad Blue Boys, seperti filmnya Sean Penn “Bad Boy”. Mereka mengikuti klub bertanding kemana-mana sembari berperang melawan fans Serbia.
Studi mengenai psikologi massa/kerumunan massal telah berkembang sedemikian pesat sebagai jawaban atas permasalahan itu, kerap diistilahkan sebagai “stampede”. Studi itu bersifat interdisiplin menjangkau studi bencana dan kedaruratan, studi kepolisian, studi administrasi publik, studi forensik.
Polisi, yang berada di stadion sebagai aparat yang digaji/dibiaya negara, ditempatkan dalam konteks pelayan publik yang sedang melakukan pelayanan langsung pada massa.
Itulah yang saya baca dari tulisan Jonatan A Lassa (dosen senior manajemen bencana di Charles Darwin University) dan Cleoputri Yusainy (Associate Proffesor bidang psikologi Universitas Brawijaya) di The Conversation.
Alison Hutton, ahli yang meneliti sejumlah kerusuhan massal seperti kasus Hillsborough 1989, di media yang sama, menekankan tiga hal, yaitu tindakan polisi, komunikasi yang buruk, dan pengaturan stadion yang tidak memadai adalah penyebab utama.
Memahami psikologi massa dalam peristiwa seperti Kanjuruhan adalah kunci. Sebab, kondisi psikologi personal dan ketika ia berada dalam kerumunan sangat berbeda. Oleh karena itu diperlukan rencana mitigasi yang tepat.
Kebijakan soft-police adalah salah satu contoh yang dipakai di Piala Dunia, Liga Inggris, dan lain-lain. Sudah tidak zamannya lagi pendekatan kekerasan dalam keamanan, apalagi menggunakan gas air mata, yang jelas-jelas dilarang oleh FIFA.
Dokumen rencana pengamanan pertandingan Arema vs Persebaya yang didapat Tempo menunjukkan tak ada rencana penggunaan gas air mata, tetapi kenapa terjadi dalam pelaksanaan?
Jika kita berpikir dalam konteks seperti di atas, tentu menjadi tidak relevan jika kita berkutat pada masalah ejek-mengejek kelakukan supporter yang diledek sebagai, misalnya, bak jagoan itu. Dalam situasi psikologis seperti sekarang, ketika banyak nyawa teman dan kerabat hilang, tentulah amat menyakitkan bagi Aremania.
Ingat, setiap kasus punya karakteristik. Di Peru, di mana 300-an nyawa hilang, massa cenderung ‘bernafsu’ pada wasit yang dianggap tidak adil dan menganulir gol.
Pada 2007, kerusuhan dalam derbi Sisilia antara Catania vs Palermo, menyebabkan pejabat polisi Filippo Raciti terbunuh. Di sana, The Ultras (supporter garis keras) memang jelas menyasar polisi sebagai musuh bebuyutan mereka.
Saya sendiri melihat, supporter Indonesia (bahkan kategori The Ultras sekalipun) tidak dalam tahap bermusuhan dengan polisi ala Sisilia. Terlihat dalam video yang beredar, situasi dalam stadion sebetulnya terkendali, dan ingat, mereka Aremania yang mencintai klubnya itu, buat apa mereka melukai para pemain klubnya sendiri?
Dalam beberapa kasus, kebenaran memang terungkap dalam jangka waktu lama. Sebanyak 96 supporter tewas dalam kerusuhan di pertandingan semifinal FA Cup antara Liverpool vs Nottingham Forest 1989. Supporter awalnya disebut sebagai biang keladi.
Namun, 27 tahun kemudian, berawal dari gugatan yang diajukan oleh keluarga korban, pengadilan memutuskan kejadian itu sebagai “Unlawfully Killed” because of “gross negligence” and “Planning Errors” by police!
Gary Lineker, mantan pemain timnas Inggris, mencuit pada 26 April 2016: “Finally, thankfully, justice for the 96! Rest in peace.”
Ada juga A Soviet Disaster di The Lenin Stadium 1982 dalam laga Spartak Moscow vs Haarlem. 340 orang tewas. Otoritas menutup-nutupi fakta kerusuhan itu sampai era Glasnost and Perestroika 1989.
Media “Sovietsky Sport” membeberkan apa yang disebut sebagai “identical catastrophe” dalam kejadian itu, dan menyangkut semacam kekerasan aparat di dalamnya.
Kasus Kanjuruhan adalah cermin relasi politik antara Jokowi dan polisi. Setidaknya itu yang dipandang oleh The Diplomat. Sejak menjabat 2014, Jokowi telah membangun hubungan khusus dengan polisi karena ia tidak memiliki hubungan kuat dengan militer.
Jokowi membawa apa yang dinamakan dwifungsi polisi yang sebelumnya dinikmati militer dalam Orde Baru. Polisi, di bawah Jokowi, adalah sekaligus alat keamanan dan alat politik.
Saya harap kita bisa lebih cerdas dan maju berpikir pada hal-hal yang fokus dan strategis. Ini bukan cuma soal tangga stadion yang curam atau pintu terkunci (yang mana bisa kita persoalkan mengapa bisa demikian karena standarnya adalah semua pintu dibuka sebelum pertandingan usai). Bukan cuma soal supporter yang sok jagoan.
Bagi wartawan, bukan cuma masalah bagaimana mendaftar ikut lomba menulis artikel berita Polri dengan tema “Apresiasi Kinerja Polri” dan subtema “Polri yang Humanis, Berintegritas, dan Inspiratif” yang diselenggarakan 5-18 Oktober 2022 berhadiah total puluhan juta rupiah.
[***]