Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, analis ekonomi Universitas Bung Karno (UBK).
RENCANA pemerintah untuk mengadakan pengampunan pajak (‘tax amnesty’/TA) jilid II tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Ada dua alasan. Pertama TA jilid I yang dilaksanakan tahun 2016-2017 jelas telah gagal.
Target untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak tercapai, buktinya: setelah pelaksanaan TA, rasio penerimaan pajak (‘tax ratio’) terhadap PDB terus menurun.
‘Tax ratio’ pada tahun 2018 adalah
sebesar 10,2 persen, tahun 2019 sebesar 9,8 persen, dan terus turun hingga di tahun 2020 sebesar 8,3 persen.
Bila TA diulang lagi, bisa-bisa ‘tax ratio’ kita akan semakin jeblok. ‘Tax ratio’ jeblok maka ekonomi akan makin terpukul.
Jadi angan-angan pertumbuhan ekonomi melompat dibuang saja. Apalagi para pejabatnya, Presiden dan Menteri Keuangan, masih sama.
Orangnya masih sama mau mengulang kebijakan yang sama, tak mungkin akan ada hasil yang berbeda.
Pun, tidak ada negara di seluruh Dunia yang mengulang TA. Kecuali memang ada skenario tertentu yang sifatnya pribadi dan mendesak, yang menjadi alasan.
Kedua, pelaksanaan TA jilid I telah memutihkan kasus-kasus pajak besar di masa lalu.
Sehingga para pejabat-pejabat kementerian keuangan dan dirjen pajak yang terlibat dalam kasus-kasus penggelapan pajak sebelum tahun 2016 menjadi terbebas dari jeratan hukum.
Jadi bila ada pejabat yang ngotot untuk melakukan TA jilid II, kemungkinan besar ada kasus pajak di periode setelah tahun 2016 hingga saat ini (2021) yang diskenariokan untuk dihapus.
Kegiatan ini dapat dikategorikan merupakan “money laundering”. Ada pejabat tinggi yang hendak memutihkan diri dari tanggung jawab hukum.
Entah, apakah itu Menteri Keuangan atau Dirjen Pajak yang sedang menjabat. Ini adalah modus untuk mengamankan
diri.
Ingat, salah satunya, belum lama ini KPK mengungkap kasus penggelapan pajak milik grup taipan batubara di Kalimantan (grup milik Haji Isyam).
Kabar beredar mengatakan ada hubungan antara grup Haji Isyam ini ke kerabat dari salah satu pejabat tinggi.
Pajaki Capital Gain dan Warisan dan Target Rekening di Atas Rp 5 Miliar
Indonesia adalah salah satu negara di Dunia yang tidak mengatur secara jelas tentang pajak “capital gain”, pendapatan dari kapital/modal.
Contoh dari pajak “capital gain” adalah pajak untuk penjualan saham, surat utang, dan properti.
Di banyak negara maju di Eropa dan Asia, pajak untuk “capital gain” relatif tinggi.
Di Eropa (Perancis, Swedia, Jerman, Belanda, Norwegia, Spanyol, Potugal, Italia) rata-rata pajak “capital
gain” nya 30-an persen.
Di Asia (Jepang, Korea, Cina, Thailand) rata-rata 20 persen. Malaysia saja,
pajak “capital gain”-nya 30 persen.
Di Indonesia, penjualan saham di bursa hanya dipajaki 0,1% dari ‘sales bruto’. Pendapatan bunga atau diskonto di pasar surat utang juga hanya dipajaki 0,03% dari transaksi.
Pialang memang dikenakan PPN 10%, tapi nilainya sangat kecil karena berbasis ‘fee’ si pialang yang biasanya nilainya tidak seberapa besar (semisal untuk pasar berjangka, feenya $30, artinya pajaknya 10% hanya $3 per transaksi).
Memang ada juga PPH 10% dari deviden, tapi pembagian deviden juga tergantung kondisi perusahaan dan keputusan internal dari perusahaan yang listing.
Tapi ingat deviden bukanlah ‘capital gain’. Kalaupun yang benar adalah pajak untuk jual beli di pasar properti yang dikenakan PPN 10%, inipun masih 1/3 Malaysia.
Memang ada aturan ‘capital gain tax’ 25%, tapi itu khusus penjualan saham perusahaan yang tidak ‘listed’. Ini membuat lebih susah dikejar transaksinya.
Jadi memang pajak untuk “capital gain” hampir tidak ada, karena pasar kapital/modalnya saja tidak dipajaki signifikan.
Jadi, dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju, ternyata
Indonesia yang paling sayang dengan para pemilik kapital. Secara ekonomi posisi Indonesia sangat kanan.
Usul dari kami, adalah untuk mengenakan pajak ‘capital gain’ sebesar 20-25 persen untuk seluruh aktivitas penjualan saham dan surat utang di pasar finansial.
Menurut simulasi yang kami lakukan,
bila kebijakan tersebut diterapkan maka pendapatan pajak Negara setiap tahun akan meningkat setidaknya Rp 300-400 triliun, dan ‘tax ratio’ akan meningkat 2-3 persen.
Selain itu yang perlu dikerjakan adalah mempertegas aturan tentang pajak warisan. Aturan pajak warisan tidak jelas, sehingga negara kehilangan peluang memajaki transfer kekayaan di antara keluarga kaya selama ini.
Karena itu kami usulkan pajak warisan sebesar 5 persen wajib dikenakan
untuk aset warisan keluarga yang besarnya di atas Rp 5 miliar.
Hal yang juga penting untuk segera dikerjakan oleh pemerintah adalah untuk menjadikan target rekening-rekening perbankan di atas Rp 5 miliar.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nilai simpanan rekening-rekening di atas Rp 5 miliar bila diakumulasikan adalah sebesar Rp 3.282 triliun. Nilai ini hampir separuh (48,8 persen) dari total akumulasi seluruh rekening.
Hanya 110 ribuan rekening yang masuk kategori di atas Rp 5 miliar. Karena itu 110 ribu rekening inilah yang harus menjadi target pajak pemerintah ke depannya.
[***]