SUDAH sejak lama, pemerintah Indonesia membuka arus masuk investasi dengan memberlakukan berbagai kebijakan yang ramah bagi para pemodal. Dalih dari kebijakan ini adalah Indonesia membutuhkan banyak sekali investasi demi membiayai berbagai mega proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah. Namun kebijakan tersebut memiliki dampak yang lain, yakni munculnya berbagai konflik di daerah-daerah. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat jumlah konflik agraria meningkat pada tahun 2016 yang mencapai 450 konflik dengan luas 1.265.027 hektar jika dibandingkan pada tahun 2015 yang terjadi 252 konflik dengan luas 400.430 hektar.
Besarnya luas lahan yang menjadi ajang konflik tersebut menyebabkan para petani kehilangan lahan. Hal ini yang menjadi salah satu faktor dari beralihnya profesi para petani di pedesaan ke wilayah industri di perkotaan. Badan Pusat Statistik mencatat dalam 10 tahun, jumlah petani menyusut drastis. Jumlah rumah tangga petani turun sebesar 5,04 juta orang, yaitu dari 31,17 juta orang pada 2003 menjadi 26,13 juta orang pada 2013. Rata-rata penurunannya sebesar 1,75 persen per tahun.
Tujuan memperbaiki nasib dan kehidupan yang lebih sejahtera dengan menjadi buruh pabrik-pabrik di kota ternyata tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Karena tingkat kesejahteraan setelah menjadi buruhpun tidak mendapatkan hidup yang lebih layak. Kenaikan upah minimum 2017 sebesar 8,25 persen juga disertai kenaikan tarif dasar listrik, naiknya bahan bakar minyak, dan sembako sehingga kenaikan upah sama sekali tidak meningkatkan kesejahteraan bagi buruh.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini lebih banyak menguntungkan kaum pemodal dari pada terkait kesejahteraan buruh. Berdasarkan kajian Pusat Kajian Politik UI mencatat anggota DPR periode 2014-2019 didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang pengusaha dengan angka 37% sementara berdasrkan Indonesia Corruption Watch mencatat dari 560 anggota DPR ada 293 atau 52% yang berlatarbelakang pengusaha.
Dalam menyambut May Day pemerintah mengajak buruh untuk tidak turun ke jalan dan malah mengajak buruh untuk berjalan santai, mancing bersama, dangdutan dan acara lainnya asal tidak melakukan aksi. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk melemahkan gerakan buruh.
Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap:
1. Hari buruh sedunia atau May Day merupakan hari gerakan buruh dan kebangkitan buruh sedunia. Ajakan pemerintah untuk tidak melaksanakan aksi May Day merupakan pembodohan;
2. Tolak seluruh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap rakyat mulai dari kebijakan perampasan lahan, upah murah, sistim kerja kontrak dan outsorcing hingga penghilangan seluruh perlindungan sosial bagi rakyat;
3. Bangun kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera;
4. Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh Chabibullah, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)