KedaiPena.Com- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (18/1/2021). Total delapan fraksi lainya di DPR menyetujui pembahasan RUU IKN.
Hal ini disampaikan Fraksi PKS saat menyampaikan pandangan mini fraksi dalam Rapat kerja Pansus RUU IKN bersama pemerintah pada Selasa dini hari. Sementara delapan fraksi lain dan DPD menyatakan setuju, dan memberikan sejumlah catatan perbaikan.
“Dengan berbagai pertimbangan dan masih banyaknya substansi dan pandangan Fraksi PKS yang belum diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang IKN tersebut, maka Fraksi PKS DPR dengan mengucap bismillahirahmanirahiim menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya,” kata Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan tertulis, Selasa, (18/1/2021).
Fraksi PKS membeberkan sejumlah pertimbangan menolak RUU IKN. Pertama, kata Suryadi, rencana pemindahan IKN mulai Tahun 2024 tidak terdapat dalam rancangan pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2007.
Hal ini menunjukkan pemerintah melakukan pembangunan yang tidak mengacu pada rancangan pembangunan jangka panjang nasional hingga tahun 2025. Selain itu, kata Suryadi, Fraksi PKS mencermati RUU IKN ini masih memuat masalah formil dan materi, mulai pembahasan dalam waktu singkat hingga banyak substansi yang belum dibahas secara tuntas.
“Beberapa materi muatan yang terdapat dalam RUU IKN mengandung permasalahan konstitusionalitas. Konsep IKN yang dirancang sebagai daerah khusus tanpa adanya penjelasan lebih lanjut dalam RUU ini tidak sejalan dengan konsep Negara Kesatuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18 UUD 1945, serta konsensus nasional 4 pilar kebangsaan,” ujar Suryadi.
Fraksi PKS juga tidak sepakat dengan pengelolaan IKN yang dipimpin oleh kepala otorita IKN yang langsung ditunjuk oleh Presiden dan tidak adanya perwakilan rakyat, yakni DPRD. Menurut Suryadi, kelembagaan otorita untuk IKN yang merupakan daerah khusus bertentangan dengan UUD 1945, dan berpotensi melahirkan otoritarianisme.
Selain itu, PKS juga mempertanyakan sejumlah hal penting dan mendasar yang belum dijelaskan pemerintah dan dibahas secara detail dalam RUU IKN, seperti perlindungan tanah masyarakat adat, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan untuk mencegah kerusakan lingkungan, dan rencana induk yang transparan termasuk pendanaan.
“Kami juga memandang perlunya rencana induk yang transparan termasuk pendanaan yang terintegrasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari RUU ini. Hal ini menjadi penting untuk menghindari produk pembangunan yang mangkrak dan over budget. Semestinya rencana induk dan draf RUU IKN satu kesatuan dokumen yang harus diserahkan bersamaan ke DPR,” kata Suryadi.
Hingga saat ini, lanjut Suryadi, Fraksi PKS belum mendapatkan penjelasan terkait hasil studi kelayakan alasan terpilihnya Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai IKN baru. Bahkan, dalam naskah akademik RUU IKN, tidak dicantumkan studi pendahuluan tentang penetapan lokasi ini.
Selain itu, kata dia, belum ada penjelasan detail terkait pemindahan struktur pertahanan negara yang dominan berada di Pulau Jawa. PKS juga mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam proses skema pembiayaan pembangunan IKN agar di satu pihak tidak membebani APBN dan menambah utang negara, dan di lain pihak tidak mangkrak. Pasalnya, dalam kondisi pandemi COVID-19, fokus APBN masih untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Menurut Suryadi, target pemindahan IKN pada semester 1 tahun 2024 sangatlah terburu-buru, sebab dibutuhkan waktu yang cukup untuk membangun fasilitas dasar seperti sumber daya air, jalan jembatan, dan pemukiman yang layak.
“Sedangan saat ini tahun 2022, status pandemi belum juga selesai, kondisi keuangan negara juga belum memungkinkan mendukung pembangunan IKN di mana akan dibutuhkan setidaknya lebih dari Rp 90 triliun dalam kurung waktu 2021-2024,” tutup Suryadi.
Laporan: Muhammad Hafidh