BARU-baru ini tersiar kabar bahwa Kementerian BUMN hendak memindahkan Pertamina Gertamina Geothermal Energy (PGE) kepada perusahaan Listrik Negara (PLN).Â
Proses ini dilakukan melalui Memorandum Of Understanding (MOU) kedua BUMN tersebut. Nantinya PGE tidak lagi di bawah manajemen Pertamina namun diambil alih PLN.Â
Tujuan dari MOU tersebut adalah untuk mendukung mega proyek ambisius listrik 35 ribu megawatt.
Untuk kesekian kali asset Pertamina teracam diambil-alih oleh perusahaan lain atas nama sesama BUMN.Â
Sebelumnya Pertamina Gas (Pertagas) rencana akan diambil alih oleh Perusahaan Gas Negara (PGN).Â
Sementara PGN sendiri adalah sebuah BUMN dengan kepemilikan swasta mencapai 43 persen dan dengan utang sedikitnya 2,71 miliar dolar (2015) atau 46 persen dari total aset.Â
Langkah penjarahan aset Pertamina ini untuk sementara berhasil digagalkan.
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa pengambilalihan PGE oleh PLN harus ditolak :
Pertama, pengambilalihan Pertamina PGE oleh PLN merupakan upaya untuk menyingkirkan Pertamina dari Industri energi. Sekaligus melemahkan Pertamina dalam persaingan dengan perusahaan energi lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa energi geothermal merupakan energi masa depan yang menjadi sasaran incaran investor swasta baik nasional maupun asing.Â
Perusahaan-perusahaan asing yang saat ini menjadi pesaing Pertamina di sektor energi seperti Chevron, Exxon dan perusahaan swasta lainnya berlomba melakukan investasi dan menguasai cadangan geothermal Indonesia dalam rangka mengincar bisnis ketenagalistrikan.
‎
Kedua, asset Pertamina PGE akan menjadi ajang bancakan swasta dalam dengan menggunakan tangan PLN.Â
Sebagaimana diketahui bahwa proyek pengadaaan listrik 35 ribu megawatt merupakan proyek penjarahan keuangan negara dan pajak rakyat oleh para cukong, taipan dengan menggunakan tangan pemerintahan yang berkuasa dan memperalat BUMN PLN.Â
Proyek 35 ribu megawatt bertumpu pada penguasaan sektor swasta terhadap pembangkit listrik melalui strategi Independent Power Producer (PPP) atau dikenal dengan pembangkit listrik swasta.Â
Cepat atau lambat aset yang berasal dari Pertamina PGE akan berpindah ke tangan swasta.
Ketiga, pengambil alihan aset Pertamina PGE oleh PLN akan menjadi alat bagi PLN dalam menumpuk utang baru dalam rangka menmbal utang lama.
Sebagaimana diketahui bahwa PLN selama ini telah dijadikan sandaran oleh pemerintah yang berkuasa untuk menumpuk utang.Â
Aset PLN telah digelembungkan untuk menumpuk utang. Bayangkan tahun 2014 Asset PLN senilai Rp. 539 triliun tiba tiba meningkat menjadi menjadi Rp. 1.227 trilun.
Akibatnya PLN merupakan perusahaan negara dengan utang menggunung. Adapun daftar pinjaman luar negeri PLN dari berbagai lembaga keuangan adalah World Bank sebesar USD3,75 miliar dalam empat tahun, Asian Development Bank (ADB) sebesar USD4,05 miliar dalam lima tahun, Japan International Cooperation Agency (JICA) sebesar USD5 miliar dalam lima tahun, KfW Bankengruppe sebesar EUR 655 juta, EUR 700 juta, EUR300 juta.
Selain itu PLN juga berutang kepada AFD Perancis sebesar EUR300 juta, China Exim Bank sebesar USD5 miliar, China Development Bank sebesar USD10 miliar, Islamic Development Bank (IDB) sebesar USD300 juta.Â
Pada akhir 2015 utang jatuh tempo PLN mencapai Rp24 triliun, dengan bunga utang sebesar Rp21.5 triliun. Sementara kas PLN hanya 23 triliun. Peringkat utang PLN sangat buruk versi fitch ratings. Â
‎
Atas dasar hal tersebut maka pengambilalihan Pertamina Geothermal Energy (PGE) oleh PLN sama sekali bukan bertujuan dalam rangka menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis energi listrik, atau bukan untuk menyelamatkan daya beli rakyat dari harga listrik selangit.
Namun semata-mata adalah kepentingan para cukong dan taipan dalam menguasai asset negara baik asset pertamina dan PLN.
Oleh karena itu maka seluruh rakyat Indonesia dan Serikat Pekerja kedua BUMN sektor energi tersebut, harus bersatu untuk menolak segala bentuk liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi energi nasional yang notabene merupakan kepentingan asing dalam menguasai kekayaan energi nasional, mengambil-alih aset-aset BUMN dan menguras rakyat dengan harga energi yang tinggi.
‎
Oleh Salamuddin Daeng, Pusat kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno