Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Advokat, Ketua Umum KPAU.
Baru saja penulis mendapatkan video singkat, isinya adalah peristiwa penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing yang ditangkap polisi Polda Kalimantan Tengah (Kalteng), Rabu, 26 Agustus 2020 yang lalu. Penangkapan ini diduga terkait dengan konflik lahan antara masyarakat adat tersebut dengan sebuah perusahaan sawit.
Dalam siaran pers-nya, Koalisi Keadilan Untuk Kinipan mengatakan Effendi Buhing dijemput paksa polisi di rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau. Dalam video yang beredar, terlihat Effendi sempat menolak dibawa oleh polisi. Disebut bahwa penolakan itu karena penangkapan tidak berdasarkan alasan dan masalah yang jelas.
Ini adalah potret kekuasaan oligarki yang telah menguasai pemerintahan, hingga semena-mena ‘merampas’ tanah adat milik rakyat. Tentu saja, masyarakat adat memiliki dasar kepemilikan mewarisi tanah secara turun temurun, sementara oligarki bisa memperoleh dokumen konsesi hanya dengan mengendalikan penguasa.
Itu pula, yang kami khawatirkan terjadi pada proyek IKN yang secara brutal diproses tanpa melibatkan elemen masyarakat, termasuk seluruh rakyat Indonesia yang berkepentingan dengan ibukota.
Memindahkan ibukota, bukan hanya membangun kawasan baru seperti pengembang yang membangun proyek perumahan. Harus diperhatikan aspirasi seluruh rakyat, juga dampaknya bagi warga disekitar proyek IKN.
Menolak Proyek IKN sejatinya membela dan melindungi masyarakat Kalimantan, karena, pertama, kami tidak ingin ada dampak lingkungan dan sosial yang menimpa masyarakat disekitar lokasi IKN, seperti yang terjadi di proyek KEK Mandalika. Bayangkan, warga disekitar Mandalika terdampak banjir karena pembangunan tidak memperhatikan aspek keselamatan rakyat.
Sampai-sampai, warga menjebol jalan besar yang dibangun menuju kawasan KEK, karena menghalangi arus air yang menyebabkan banjir makin besar. Bahkan, kalau tidak dijebol warga bisa tenggelam.
Kedua, kami belum mendapatkan kajian keuntungan yang akan diperoleh oleh masyarakat kalimantan terkhusus masyarakat adatnya. Yang jelas, pemilik lahan di IKN adalah mayoritas para pengusaha dari Jakarta.
Kalau kompensasi lahan itu adalah dengan diberikan izin konsesi lahan lainnya, bukankah itu akan memperluas deforestasi? Dan dampaknya, bisa menimpa masyarakat adat yang selama ini telah tinggal dan mewarisi lahan secara turun-temurun dari nenek moyang?
Kalau terjadi konflik lahan, masyarakat adat yang selalu dikorbankan, pengusaha yang dimenangkan dengan dalih memiliki surat. Ini tentu akan menambah konflik sengketa tanah adat, yang selama ini telah hidup aman tenteram bersama alam dan kearifan lokal (local wisdom).
Ketiga, kami menilai bahwa proyek IKN ini akan membebani APBN, yang artinya membebani seluruh rakyat Indonesia. Bukankah, masih banyak prioritas kegiatan ketimbang pindah IKN?
Lagipula, proyek infrastruktur yang telah berjalan saja banyak masalah. Semestinya, dilakukan evaluasi secara menyeluruh bukan malah ugal-ugalan bikin proyek IKN.
Karena itu, kepada segenap masyarakat Kalimantan, apa yang kami tempuh adalah untuk menghindari dampak negatif. Jadi, penolakan proyek IKN bukan berarti tidak pro kepada masyarakat Kalimantan.
Terlebih lagi kepada seluruh rakyat Indonesia, persoalan pindah IKN ini terkait hajat seluruh rakyat. Karena itu, bersuaralah dan sampaikan aspirasi secara terbuka agar didengar penguasa.
[***]