Artikel ini ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Mahkamah Konstitusi atau MK sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, walaupun para Pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda.
Dalam permohonan kali ini, MK menyatakan permohonan para anggota DPD tdk punya legal standing, maka dinyatakan “tidak dapat diterima”.
PBB punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya. MK tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai “yurisprudensi” yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tak bertentangan dengan UUD 45.
Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 45 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 45.
Tapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional.
Selain itu MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem presidensial.
Padahal, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang.
UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara.
Tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan “penguatan sistem presidensial” sebagaimana selama ini didalilkan MK.
Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap.
Pasal 222 itu adalah “open legal policy” Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK.
Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional.
Dalam pandangan saya, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang.
Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan “qaul jadid” atau pendapat baru, dan meninggalkan “qaul qadim” atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.
MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan “jumud” dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita.
Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan.
Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR.
Hal yang paling aneh dalam demokrasi kita akan terjadi. Calon presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya.
Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK.
MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.
Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita.
[***]