Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Mantan Redaktur Eksekutif Koran Rakyat Merdeka.
Apa makna pernyataan Megawati bahwa PDIP menolak calon presiden hasil pencitraan, seperti disampaikan oleh Hasto Kristiyanto, sang Sekjen, di Kemayoran, Rabu kemarin?
Pertama, pernyataan tersebut boleh dianggap sebagai pendidikan politik untuk rakyat dan untuk kader PDIP, supaya tidak mengulang kesalahan fatal yang sama, seperti yang terjadi saat ini, di mana tatakelola pemerintahan dan kehidupan bernegara berantakan akibat presiden terpilih saat ini adalah murni hasil pencitraan. Tanpa kapasitas dan visi-implementatif Sukarnoisme.
Kedua, demi kelangsungan masa depan PDIP.
Memilih calon presiden yang hanya bermodalkan pencitraan seperti yang terjadi saat ini taruhannya adalah PDIP akan semakin kehilangan kepercayaan rakyat. Sukarnoisme akan tetap menjadi slogan dan kata-kata kosong yang hanya mengundang romantika kadaluwarsa.
Pencitraan di mata rakyat kini sudah menjadi stigma buruk. Lembaga-lembaga polling berbayar, buzzersRp, influencersRp dan sejenisnya, esensinya adalah alap-alap penipu rakyat dan makelar manipulator yang membohongi wong cilik.
PDIP membutuhkan calon presiden yang memiliki komitmen dan track record untuk mewujudkan cita-cita Sukarno dalam Trisakti. Terutama untuk mengatasi persoalan perekonomian nasional yang rusak.
Figur capres seperti ini tentu tidak akan dapat ditemukan Megawati di timbunan capres-capres pencitraan yang ada di etalase partai politik. Apalagi yang memiliki ideologi Sukarnoisme yang kokoh. Sehingga janganlah bermimpi.
Ada yang bilang pernyataan Megawati tersebut adalah untuk menyindir Anies Baswedan yang tak diinginkan oleh PDIP. Tapi faktanya semua calon presiden yang digadang-gadang oleh partai politik saat ini adalah produk pencitraan. Mulai dari Prabowo yang lebih dari satu kali gagal dalam Pilpres, Ganjar yang didukung istana, Erick Thohir yang tebar pesona dengan fasilitas BUMN, dan beberapa nama lain yang idem ditto, calon presiden made in pencitraan.
Bagi Megawati Pilpres 2024 sebenarnya adalah ibarat judul lagu It’s Now or Never, Elvis Presley. Atau mengutip istilah Sukarno, 2024 adalah Tahun Banting Stir, karena hampir sembilan tahun terakhir bangsa ini berada di tahun-tahun Vivere Pericoloso.
Pilihannya, PDIP harus melakukan aliansi strategis dengan civil society, seperti dulu saat PDI (P) ditindas di era Soeharto, berjuang bersama rakyat, mendapatkan dukungan, dan simpati rakyat dalam menegakkan demokrasi.
Dengarkan suara rakyat dengan kesungguhan, rangkul, dan perbaiki nasibnya dengan memilih calon presiden idaman rakyat yang memiliki integritas, rekam jejak, dan reputasi untuk mewujudkan cita-cita ekonomi di dalam Trisakti Sukarno, sebab bukankah Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat Suara Tuhan?
Sedang nyatanya suara partai suara bandar yang bikin susah rakyat dan mengecewakan Megawati.
[***]