KedaiPena.com – Keterlibatan militer dalam sektor pangan, mulai dari penempatan perwira aktif di posisi strategis seperti Kepala Bulog hingga program ketahanan pangan yang melibatkan ratusan satuan militer di berbagai tingkatan, mencerminkan perubahan signifikan dalam pendekatan pemerintah terhadap masalah pangan.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar menilai langkah yang diambil pemerintah ini, tampaknya dilandasi oleh keyakinan bahwa militer, dengan struktur komando yang kuat, disiplin yang tinggi, serta kemampuan logistik yang mumpuni, dapat mempercepat realisasi program strategis seperti cetak sawah dan food estate.
“Secara positif, kehadiran militer dalam proyek pangan bisa mempercepat eksekusi program, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur pertanian dan distribusi logistik pangan. Militer memiliki kapasitas untuk mengorganisir sumber daya dalam skala besar, menjaga stabilitas wilayah, serta mengamankan distribusi pangan dalam situasi darurat,” kata Anwar saat dihubungi, Selasa (11/2/2025).
Dalam konteks ancaman geopolitik dan ketahanan nasional, memastikan ketersediaan pangan memang menjadi prioritas yang tak bisa diabaikan. Keberadaan militer dalam aspek ini juga dapat menekan potensi penyimpangan dalam rantai distribusi pangan yang selama ini kerap diwarnai oleh mafia pangan atau praktik oligopoli.
Namun, menurut Anwar, pendekatan ini juga membawa sejumlah risiko yang tidak bisa dikesampingkan. Pertama, keterlibatan militer secara masif dalam sektor pangan berpotensi menggeser peran aktor sipil, khususnya petani, akademisi, dan institusi pemerintahan yang secara historis memiliki mandat untuk menangani sektor ini.
“Alih-alih memberdayakan masyarakat dan membangun sistem pertanian yang berkelanjutan, pendekatan berbasis komando dapat menciptakan ketergantungan yang kurang sehat serta mengabaikan dinamika sosial-ekonomi yang lebih kompleks di sektor pertanian,” ujarnya.
![](https://assets.kedaipena.com/images/2024/05/IMG-20240521-WA0005.jpg)
Kedua, ada risiko pemborosan sumber daya jika proyek-proyek yang dijalankan tidak berbasis pada kajian agronomis dan sosial yang matang. Beberapa program food estate yang sudah berjalan sebelumnya, misalnya di Kalimantan dan Sumatera, menunjukkan hasil yang kurang memuaskan karena tidak memperhitungkan karakteristik tanah, pola pertanian masyarakat lokal, serta aspek keberlanjutan lingkungan.
“Jika proyek pangan berbasis militer ini dipaksakan tanpa kajian yang memadai, bukan tidak mungkin akan mengalami nasib serupa,” ujarnya lagi.
Ketiga, dari perspektif tata kelola demokrasi, meningkatnya peran militer dalam sektor pangan bisa menjadi preseden bagi perluasan kewenangan militer di ranah sipil. Penambahan Kodam baru, batalyon teritorial, serta keterlibatan militer dalam berbagai sektor strategis di luar tugas pertahanan berpotensi mengarah pada supremasi militer dalam kebijakan publik.
“Ini berisiko melemahkan prinsip civil supremacy (supremasi sipil), di mana seharusnya kebijakan publik dikelola oleh pemerintahan yang berbasis pada akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi,” kata Anwar lebih lanjut.
Ia mengungkapkan, dampak jangka panjang dari pola ini bisa sangat besar. Jika pengelolaan sektor pangan semakin dikontrol oleh institusi militer, ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan pangan dapat tergerus.
Selain itu, jika keberpihakan pada pendekatan komando lebih dominan dibanding pemberdayaan petani dan reformasi agraria, maka ketimpangan struktural dalam sektor pertanian justru semakin sulit diatasi.
“Oleh karena itu, alih-alih mengandalkan militer sebagai aktor utama, seharusnya pemerintah lebih fokus pada penguatan kelembagaan sipil yang menangani pangan, memastikan regulasi yang mendukung kesejahteraan petani, serta menciptakan sistem pertanian yang berbasis inovasi dan keberlanjutan. Militer mungkin dapat berperan dalam kondisi darurat atau aspek tertentu dalam ketahanan pangan, tetapi bukan sebagai pilar utama yang menggantikan peran aktor sipil dalam mengelola sektor yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat ini,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa