KedaiPena.Com -Â Tenaga Kerja Asing (TKA) di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) membludak. Mengacu Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat jumlah TKA hingga saat ini mencapai 126 ribu orang atau meningkat 69,85 persen.
Jumlah tersebut jauh sangat meningkat dibandingkan pada akhir 2016 yang hanya sebanyak 74.813 orang. Dari jumlah tersebut TKA terbanyak berasal dari Cina.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri beberapa waktu lalu mengakui bahwa permudahan perizinan TKA ini hanya ditujukan bagi tenaga kerja yang sudah ahli.
Hanif menjamin, pekerja kasar dan jenis-jenis pekerjaan lain yang bisa diisi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tetap dilindungi. Hanya saja, ia tak menyebut jenis-jenis pekerjaan yang bisa dengan mudah diisi oleh TKA.
Hanif kala itu juga menuturkan, selain berasal dari Cina, para pekerja asing juga banyak berasal dari Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura.
Kendati jumlahnya melesat, pemerintah masih berkeinginan untuk mempermudah masuknya TKA profesional yang masih dibutuhkan di sektor-sektor tertentu.
Polemik pun bermunculan terkait keberadaan TKA tersebut. Khususnya, TKAÂ asal Cina yang merambah hingga ke pelosok desa. Tak hanya itu, banyak di antara TKA tersebut ilegal lantaran tidak mempunyai surat-surat.
TKA Asing tersebut juga kerap membuat onar. Mulai dari melakukan pelecehan kepada bendera merah putih yang dilakukan oleh TKA asal Cina pada proyek Tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintahan Jokowi.
Yang teranyar, terlibat keributan dengan tenaga kerja lokal, seperti yang dilakukan TKA asal Cina di PLTU Jawa 7, Desa Terate, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, Banten.
Keributan telah terjadi dua kali. Pertama pada Sabtu, 8 September 2018 lalu. Keributan itu diduga dipicu lantaran saling ejek antara mereka.
Lantas terjadi pemukulan yang diduga dilakukan tenaga kerja asing kepada tenaga lokal. Sehari kemudian, pada Minggu 9 September 2018, terjadi keributan yang merupakan buntut dari kejadian Sabtu.
“Pada saat makan siang, terjadi kesalahpahaman antara TKA dengan tenaga kerja lokal,” kata Kapolres Serang Kota Ajun Komisaris Besar Polisi Komarudin, Senin, Senin (10/9/2018).
Spekulasi pun bermunculan soal keributan tersebut. Mungkinkah, keributan tersebut dapat dikatakan sebagai puncak permasalahan kehadiran TKA di Indonesia?
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menilai keributan tersebut menjadi puncak dari permasalahan yang ditimbulkan oleh pemerintah terkait dengan kebebasan mempekerjakan TKA di Indonesia.
“Bisa jadi. Tapi sesuai dengan aturan yang ada, jumlah pekerja lokal harus lebih banyak terserap di tempat itu dan tidak bertubrukan dalam bidangnya,†ujar Dede kepada KedaiPena.Com, saat dihubungi, Rabu (12/9/2018).
Khusus kasus yang terjadi di Serang, Dede meminta agar perusahaan yang mempekerjakan TKA harus mampu mengontrol hubungan sosial antara pekerja lokal dan TKA. Jika tidak, maka perusahaan harus diberi teguran oleh pemerintah.
“Karena salah satunya tugas mereka adalah dengan menjaga keadilan fasilitas juga bagi pekerja lokal. Jika masih bandel tidak mengindahkan aturan, maka perusahaan yang harus diberi sanksi,†ujar Dede.
Politisi Partai Demokrat tersebut mengakui, kadangkala banyak TKA yang masuk Indonesia namun kurang paham tentang hukum di negara yang didatangi. Oleh sebab itu, lanjut Dede, baik Pemerintah pusat dan daerah wajib lakukan pembinaan berkala.
“Agar semua tahu kewajiban serta hukum yang berlaku di Indonesia,†tutur pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat ini.
Sementara, Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatulloh mengatakan, keributan semacam ini bisa saja terjadi karena berbagai masalah. Mulai dari masalah pribadi sampai mungkin juga masalah sosial.
“Namun saya melihat belum dapat disimpulkan bahwa ini berkorelasi dengan masalah TKA yang kita dengar selama ini,†ujar Dewas BPJS Ketenagakerjaan ini saat dihubungi KedaiPena.Com, secara terpisah.
Namun demikian, ia meminta, agar aparat penegak hukum dapat mencari tahu secara seksama apa akar masalahnya. Yang bersalah harus dihukum. Yang terzalimi, harus dilindungi.
“Konflik antar lapisan masyarakat, yang berbeda suku, latar belakang, bahkan perbedaan kewarganegaraan adalah masalah keamanan. Menjadi tugas aparat untuk menanganinya,†pungkas bekas Anggota DPR RI ini.
Laporan: Muhammad Hafidh