Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Pertanyaan, “kapan akan terjadi keretakan koalisi antara Prabowo dan Jokowi”bisa bermakna tiga hal.
Pertama, sekedar pertanyaan analitik, oleh fakta tidak adanya instrumen formal berupa kendali kepartaian, sebagai bargaining Jokowi pasca purna tugas.
Kedua, merupakan introduksi opini untuk menggiring keretakaan Prabowo dan Jokowi. Agar bisa dipetik keuntungan bagi pihak tertentu. Ketika Jokowi tidak lagi memiliki bargaining yang kuat dalam koalisi, posisinya akan diganti pihak lain.
Ketiga, merupakan strategi untuk memperlemah Prabowo ketika keretakan koalisi dengan Jokowi berhasil diwujudkan. Oleh karena itu dihembuskan beragam opini untuk memisahkan keduanya.
Terlepas dari ketiga kemungkinan tersebut, koalisi Prabowo dan Jokowi memiliki pondasi kuat.
Pertama, berdasar karakter dan recordnya, Prabowo tidak akan melupakan orang yang berjasa dalam turut memastikan kemenangannya menjadi Presiden. Setelah sebelumnya berkali-kali mengalami kekalahan. Prabowo tentu sulit melupakan jasa siapa saja yang membawanya kali ini unggul dalam kontestasi pilpres.
Kedua, Jokowi memiliki Gibran pada posisi wapres untuk masa jabatan lima tahun. Juga sejumlah menteri kabinet. Gibran tidak bisa di reshufle atau diberhentikan di tengah jalan. Ia dan menteri kabinet kuota Jokowi tentu menjadi simpul, sekaligus perawat bagi basis massa loyalis Jokowi.
Ketiga, basis massa pendukung Jokowi masih besar. Keberadaannya menjadi alat bargaining bagi eksisteni koalisi Jokowi terhadap Prabowo. Basis massa ini akan menjadi pengadil dalam setiap momen kontestasi politik yang akan berlangsung. Siapa mencederai Jokowi, akan digembosi dukungan politiknya sebagaima kasus Ganjar dalam pilpres 2024.
Dari beragam kemungkinan itu, titik retak koalisi Prabowo-Jokowi akan terjadi oleh problem internal Jokowi sendiri. Ialah surutnya dukungan basis massa kepada Jokowi pasca ia lengser. Lembaga survei akan tetap dominan dalam memotret dukungan terhadap Jokowi dalam memenangkan kontestasi politik.
Problemnya adalah seberapa lama sejak Jokowi lengser, dukungan publik terhadapnya masih bertahan dalam jumlah besar. Terkecuali Jokowi memiliki partai politik yang bisa dikendalikannya sendiri.
Secara etika politik, Prabowo akan tetap merangkul Jokowi sebagai orang berjasa dalam karir politiknya. Hingga Presiden Jokowi tidak memiliki pijakan lagi pada basis massa pendukung.
Demikian soal kemungkinan titik retak Prabowo-Jokowi.
ARS ([email protected]), Jaksel, 06-05-2024
[***]