PENCANANGAN DKI Jakarta sebagai provinsi literasi di gedung Graha Utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, setidaknya bermakna sebuah tekad dari Pemprov DKI Jakarta untuk menumbuhkan minat dan tradisi berliterasi masyarakat, khususnya di kalangan anak dan pelajar Jakarta.
Meski sejauh ini belum terlalu terkonfirmasi, apakah tekad itu merupakan tekad yang kuat, setengah-setengah, ataukah justru tekad yang ala kadarnya. Dan waktulah yang akan membuktikannya.
Ketika Provinsi DKI Jakarta bertekad hendak mendaulat diri sebagai provinsi literasi pertama di Indonesia, tentu tekad itu sangatlah bagus. Terlebih sebelumnya, sekitar dua tahun lalu, tepatnya pada 2 Mei 2014, Kota Surabaya melalui Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pun telah mencanangkan Kota Surabaya sebagai kota literasi pertama di Indonesia. Dan sejauh pengamatan saya, program Surabaya sebagai kota literasi telah berjalan relatif cukup baik.
Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta, terutama Gubernur DKI Jakarta, SKPD-SKPD, UKPD-UKPD, dan badan-badan terkait di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, harus terus memompa tekadnya untuk benar-benar mampu mewujudkan Jakarta sebagai provinsi literasi yang sesungguhnya. Bukan cuma pada tataran seremonial pencanangan belaka.
Tentu, kalangan birokrasi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, pun harus benar-benar menuntaskan sebuah pemahaman yang tepat terhadap arti penting menumbuhkembangkan tradisi berliterasi di kalangan anak dan pelajar Jakarta.
Pemahaman yang tepat dan benar ini wajib dimiliki Gubernur dan jajaran birokrasi di bawahnya, sebagai modal dasar bagi lahirnya kebijakan dan program-program yang kondusif, yang mampu menopang perwujudan Jakarta menjadi benar-benar sebagai provinsi literasi.
Jika pemahaman yang tepat dan benar itu tak dimiliki oleh Gubernur Ahok dan jajaran birokrasi di bawahnya, maka pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi hanya sekedar seremoni yang tak memiliki arti apapun bagi masa depan generasi anak dan pelajar Jakarta saat ini.
Dan ketika pemahaman yang tepat dan benar telah benar-benar tuntas dan laten dimiliki oleh Gubernur dan jajaran-jajaran birokrasi terkait di bawahnya, langkah berikutnya adalah menciptakan kebijakan-kebijakan.
Tak terkecuali kebijakan anggaran, yang mampu menopang secara berkualitas implementasi Jakarta sebagai provinsi literasi. Hal itu tak lain agar terbentang jalan yang mulus bagi terbentuknya generasi berkualitas masyarakat Jakarta di masa depan.
Namun dua bulan berlalu pasca pencanangan DKI Jakarta sebagai provinsi literasi, belum pernah terdengar penjelasan, perspektif, ataupun arah kebijakan dan program dari Gubernur Ahok dalam rangka mengisi dan menopang hari-hari panjang pasca pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi.
Alih-alih komitmen kuat dan greget kental digelorakan Gubernur Ahok dalam mendorong DKI Jakarta sebagai provinsi literasi, yang terbaca justru lebih banyak hirup-pikuk kesibukan Gubernur Ahok dalam memastikan proses pencalonan kembali dirinya di Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan.
Padahal betapa pentingnya penegasan komitmen seorang kepala daerah dalam rangka menyukseskan pencanangan daerahnya sebagai provinsi literasi. Sebagaimana halnya penegasan komitmen itu kental sekali dalam sikap dan kebijakan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, tatkala Surabaya mencanangkan diri sebagai kota literasi.
Meski Gubernur Ahok sedang sibuk dalam hirup-pikuk persiapan dirinya bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, sehingga tak terdengar memberi gaung penguatan pasca pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi, namun lewat Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sophan Ardianto, kita peroleh target-target dari pencanangan itu.
Menurut Kadisdik DKI Jakarta itu, dalam setahun ditargetkan lima juta judul buku dibaca. Dan satu juta tulisan dihasilkan dari pelaku pendidikan, baik itu guru maupun siswa.
Bila saat ini kabarnya para pelajar di Jakarta, dari tingkat SD hingga SMA sederajat, diperkirakan berjumlah sekitar 1,5 juta orang siswa, maka target itu sepertinya sebuah target minimalis. Itu berarti setiap siswa di DKI Jakarta ditargetkan membaca sekitar 3 buku setahun di luar buku mata pelajaran.
Target yang Masih Bisa Digenjot
Untuk tahap awal pasca pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi, memang boleh-boleh saja target lima juta judul buku diberlakukan. Meski sebenarnya target itu bisa juga sedikit digenjot lagi. Misalnya, lima judul buku dibaca oleh setiap siswa dalam setahun.
Jika, dalam setahun setiap pelajar Jakarta menamatkan lima judul buku, dan menulis resume atau resensi sederhana dari tiap-tiap buku yang dibacanya itu, yang disesuaikan dengan usia, taraf berpikir dan kemampuannya, dengan asumsi siswa di Jakarta berjumlah 1,5 juta orang siswa, maka akan ada 7,5 juta judul buku dibaca, dan dibuat tulisan resume atau resensinya, baik dengan pendalaman maupun tanpa pendalaman, oleh seluruh pelajar Jakarta dalam setahun.
Sebuah perkiraan potensi yang lebih dari cukup dasyat dari kekayaan literasi di sekolah Jakarta, bukan?
Khusus untuk para siswa kelas 1 atau kelas 2 yang baru saja belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu perlu perlakuan khusus terhadap mereka. Para guru bisa lebih banyak menerapkan metode read aload
kepada mereka.
Hasil bacaan yang dibaca siswa kelas 1 dan kelas 2 SD lewat metode read aload itu bisa mereka ekspresikan dalam bentuk kesimpulan dalam bahasa anak itu sendiri. Baik melalui kalimat pendek yang simpel, maupun gambar-gambar sederhana sesuai imajinasi mereka.
Dan saya pikir, itu justru akan bisa menjadi proses pengenalan paling dini tradisi berliterasi yang cukup efektif di kelas-kelas paling awal di sekolah dasar.
Sementara ribuan orang guru di Jakarta, ketika mereka semua menuliskan hasil pengalaman lapangannya mengisi hari-hari berada di garda depan penumbuhan minat berliterasi para siswanya pasca pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi, maka hasil tulisannya itu nanti tentu akan menambah kekayaan khazanah berliterasi di sekolah, bukan?
Saya pikir, target awal bagi tiap siswa di Jakarta menamatkan membaca dan menulis lima judul buku selain buku pelajaran dalam setahun, bahkan bisa sedikit lebih dari jumlah itu, masih dalam batas-batas objektif yang bisa dicapai.
Tentunya dengan menggunakan beragam metode menyenangkan, yang diterapkan para guru agar mampu merangsang pembiasaan positif membaca dan menulis para siswa.
Juga lewat memanfaatkan waktu 15 menit setiap hari sebelum dimulainya pelajaran sekolah sesuai amanat Permendikbud No.23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dan pemanfaatan waktu luang lainnya dari siswa selama di sekolah maupun setelah di rumah.
Dan yang terpenting juga adalah penciptaan rangsangan yang bersifat motivatif dari pihak sekolah dan dinas pendidikan, berupa kebijakan reward atau apresiasi yang dapat memicu dan memacu para siswa untuk senang dan cinta untuk berliterasi.
Terlebih lagi jika secara kontinyu diselenggarakan beragam ajang lomba literasi dan pelatihan-pelatihan literasi sekolah. Sebab, jika pada tahap awal para siswa hanya diminta untuk membaca dan menulis, tanpa ada rangsangan berupa reward ataupun apresiasi yang membuatnya tergerak dan membiasakan diri membaca dan menulis, sekecil apapun target membaca dan menulis yang dimintakan kepada mereka, akan cukup sulit memperoleh perhatian khusus dari para siswa. Jika tak ingin disebut mudah diabaikan oleh mereka.
Demikian juga penyediaan sarana, seperti perpustakaan sekolah, sudut-sudut baca sekolah, serta buku-buku dan bahan bacaan yang sesuai usia para pelajar. Tak ketinggalan adalah pengayaan metode dan pendekatan dari para guru lewat pelatihan khusus dalam rangka merangsang minat berliterasi siswa.
Juga peningkatan SDM para pengelola perpustakaan sekolah di Jakarta, sekaligus mungkin peningkatan insentif terhadapnya.
Berkenaan dengan peningkatan SDM para pengelola perpustakaan, Tim Penggerak Kampanye Terpadu Minat Berliterasi Anak (Tirakat Militan) Yayasan JARANAN telah diundang secara khusus untuk diminta masukan-masukan dan gagasan-gagasan oleh Pusat Pengembangan Manajemen Sekolah (PPMS) Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada pekan lalu pertengahan Maret lalu.
Masukan-masukan dan gagasan-gagasan progresif telah kami sampaikan sebagai bahan penyusunan silabus diklat bagi para pengelola perpustakaan sekolah di lingkungan Disdik Provinsi DKI Jakarta.
Semoga saja ke depan, masukan-masukan dan gagasan-gagasan dari Tirakat Militan nantinya ketika diaktualisasikan di tingkat praktik lapangan oleh para pengelola perpustakaan sekolah, mampu mendinamisasikan dan memberikan efek penguatan minat dan tradisi berliterasi para siswa pasca pencanangan Jakarta sebagai provinsi literasi.
Semoga. Salam Anak Nusantara.
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Kota Layak Anak dan Penggiat Literasi