KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, di tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, banyak lembaga survei yang mencatat tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah, bahkan mencapai 68,3 persen, merupakan ‘framing’ untuk menggiring opini masyarakat.
Hal itu, kata Fadli, berpengaruh dengan tingkat elektabilitas Jokowi yang mencapai 38 hingga 40 persen, dan diklaim mengungguli figur yang lain.
“Di tengah kemajuan teknologi saat ini, menilai sekaligus mengkritisi hasil survei, bukanlah hal yang sulit. Sah-sah saja jika ada survei mengungkapkan kesimpulan yang demikian. Namun, belum tentu kesimpulan tersebut mencerminkan kondisi sebenarnya,” jelas Fadli dalam siaran pers yang diterima Redaksi, Selasa (7/11).
Fadli menjelaskan, seiring perkembangan perangkat teknologi dan metode penelitian, survei opini publik menjadi lebih mudah dan praktis untuk dilakukan. Secara teknis, siapapun kini bisa melakukannya. Mulai dari metode yang sederhana hingga yang kompleks.
“Misalnya, saya baru melakukan sejumlah polling opini publik di ‘Twitter’. Ketika saya tanyakan Jika Pilpres hari ini, siapa yang akan dipilih, maka 56 persen justru memilih Prabowo Subianto, 26 persen memilih Joko Widodo, dan 19 persen menjawab memilih yang lain,” imbuh Fadli.
Selain itu, kata Fadli lagi, sebelumnya, dirinya juga pernah membuat ‘polling’, tentang bagaimana ekonomi tiga tahun terakhir. Dan hanya 24 persen yang menyatakan maju, sementara 68 persen menyatakan kecewa dan semakin buruk. Hasil ini juga senada dengan hasil sejumlah lembaga survei, yang mengajukan pertanyaan yang sama.
“Sering kita temukan, lembaga survei berupaya membangun kesimpulan hubungan antar variable yang tidak solid. Dalam penelitian ini dikenal dengan istilah ‘spurious correlation’. ‘False presumption that two variables are correlated when in reality they are not’. Survei seperti itu, alih-alih ingin menghadirkan kesimpulan objektif, justru sebenarnya sedang merekayasa kesimpulan politik,” tegas Fadli.
“Saya juga mencatat sejumlah survei di AS, yang banyak dilakukan oleh Gallup dan PEW Research Group. Pada 2016, kedua lembaga tersebut mengungkapkan bahwa ‘satisfaction has little impact on vote choice once presidential approval is taken into account’. Tingkat kepuasan memiliki korelasi yang lemah dengan elektabilitas,” sambung Fadli.
Kemudian, Fadli mencontohkan, pada fenomena pilkada Jakarta misalnya tingkat kepuasan terhadap Ahok mencapai 70 persen, namun tingkat elektabilitas Ahok hanya 42 persen. Sehingga, mengaitkan tingkat elektabilitas semata-mata dengan tingkat kepuasan, bisa jadi ‘false presumption’.
Lebih lanjut, jelas Fadli, bagi seorang ‘incumbent’, tingkat elektabilitas dibawah 50 persen justru mengkhawatirkan. Artinya lebih dari 50 persen tidak memilihnya. Dibandingkan dengan figur ‘incumbent’ di negara lain, elektabilitas Jokowi justru terbilang rendah sebab Putin sebagai incumbent misalnya, sejak 2014 tingkat approvalnya mencapai 87 persen.
“Sehingga, untuk melihat siapa yang akan jadi pemenang presiden di 2019 nanti, harus berdasarkan parameter yang jelas, solid, dan logis. Publik kita kini sudah terbiasa dengan survey, dan semakin cerdas dalam memverifikasi kesimpulan yang disodorkan,” tandas Waktum Partai Gerindra ini.
Laporan: Muhammad Hafidh