ECPAT Indonesia  dan Aliansi Reformasi KUHP  menyayangkan  tindak pidana membeli layanan seks pada anak atau prostitusi anak (pelacuran anak) tidak diatur dalam Buku II R KUHPâ€
Kemarin tanggal 14 Desember 2016 Panitia Kerja (Panja) R KUHP Komisi III, kembali membahas Buku II RKUHP Bab XIV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan. Â
Ecpat  Indonesia yang selama ini perhatian kepada isu tentang Eksploitasi Sekual Komersial Anak (ESKA), melihat bahwa secara umum Pada R KUHP terkait ESK sudah diatur di beberapa pasal.
Seperti tindak pidana pornografi anak yang sudah diatur di pasal 384 Bab VIII mengenai Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan Hidup, danada di pasal 478 dan 479 di Bab XIV mengenai Tindak Pidana Kesusilaan.
Untuk Tindak Pidana Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual ada dipasal 498, 499 dan 500, Â sedangkan untuk Tindak Pidana Pornografi Anak dan Perdagangan Anak untuk tujuan seksual, pasal-pasal yang ada di atas dapat mewakili unsur-unsur untuk menjerat para pelakunya.
Namun ECPAT dan Aliansi menyayangkan  bahwa untuk tindak pidana membeli layanan seks pada anak atau prostitusi anak (pelacuran anak) ternyata tidak diatur dalam Buku II R KUHP ini. Tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan secara rinci tentang anak-anak yang menjadi korban prostitusi dan siapa saja orang yang bisa dihukum bila terlibat dalam prostitusi anak.Â
Tidak adanya  yang mendefinisikan prostitusi anak dalam Buku II RKUHP jelas patut dipertanyakan, padahal Indonesia sudah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak.
Salah satu kewajiban pemerintah adalah mengharmonisasi Undang-Undang yang ada dengan Protokol Opsional ini untuk menjamin anak-anak tidak menjadi korban dari jenis kejahatan tersebut.
Justru pasal-pasal di Bab XIV tersebut lebih menonjolkan tentang persetubuhan dengan anak-anak dan pencabulan dengan anak-anak, namun lupa mencantumkan ketentuan tentang prostitusi anak. Di Bab XIV ada 2 pasal yang bisa dikatakan belum menjangkau definiskan tindakpidana prostitusi anak, yaitu pasal 486 dan pasal 496.
Dua pasal tersebut bukan mengkriminalisasi pelaku karena membeli layanan seks pada anak, tapi lebih kepada persetubuhannya dan pencabulannya, dan ini belum menjangkau tindak pidana perbuatan ekspolitasi seksual anak yang lebih terorganisir.‎
ECPAT Indonesia dan Aliansi  berharap dan mendorong agar Panja Komisi III DPR mempertimbangkan untuk memasukkan tindak pidana prostitusi anak dalam rumusan R KUHP secara jelas  agar bisa menjerat para pelaku yang memakai jasa layanan seksual anak-anak.Â
Dengan banyak kasus-kasus prostitusi anak yang terjadi belakangan ini kami berharap Panja Komisi III berinisiatif memasukkan aturan yang mengatur tentang prostitusi anak, agar anak-anak Indonesia tidak lagi menjadi korban prostitusi.
Oleh Rio Hendra, ECPAT Indonesia dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP