KedaiPena.Com – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) menargetkan 20 Juta Wistawan Asing pada tahun 2019. Untuk mendongkrak hal tersebut Pemerintah pun mencanangkan 10 destinasi prioritas pembangunan pariwisata.
Diberi nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Pemerintah tengah berupaya mengembangkan 10 destinasi tersebut menjadi Bali-Bali Baru.
Destinasi tersebut adalah Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Morotai (Maluku Utara), Pulau Komodo-Labuan Bajo (NTT), Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Danau Toba (Sumatra Utara), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika Lombok (NTB) dan Tanjung Lesung (Banten).
KedaiPena.Com, beberapa waktu lalu, sempat berbincang dengan Juru Bicara Presiden Johan Budi Sapto Prabowo soal perkembangan pembangunan 10 KSPN itu di tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK.
Berikut wawancaranya:
KedaiPena.Com (KPC): Bagaimana anda melihat perkembangan pembangunan 10 KSPN yang sedang dibangun?
Johan Budi Sapto Prabowo (JBSP): Selama ini dunia kan hanya mengenal Indonesia melalui beberapa destinasi wisata saja. Tapi sekarang mulai berkembang. Indonesia sudah mulai mengembangkan destinasi baru seperti Mandalika, Pulau Komodo, Bromo serta beberapa tempat lain. Sekarang, Danau Toba juga sudah mulai terlihat pembangunannya dengan membangun lapangan terbang untuk pesawat berbadan besar.
Ada perkembangan signifikan dari dunia pariwisata di Indonesia dengan Pembangunan 10 KSPN tersebut, salah satunya ialah peningkatan angkat devisa. Sebab pariwisata saat ini sudah menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah ‘crude palm oil’ atau CPO.
Nah targetnya di tahun 2017 menjadi nomor satu devisa. Dulu kan migas dan batu bara. Kemungkinan pariwisata bisa jadi nomor satu di tahun-tahun kemudian.
Pariwisata kita saat ini sudah berkembang. Tidak hanya berkembang sebagai sebuah destinasi baru tapi juga tengah berkembang menjadi penyumbang devisa buat negara ini.
KPC: Berarti ada dampak besar dari pembangunan 10 destinasi pariwisata tersebut?
JBSP: Tidak hanya menambah devisa tapi juga dapat menghidupkan kantong-kantong ekonomi baru. Keikutsertaan warga wisata itu juga bisa ditingkatkan. Apakah itu misalnya produksi yang khusus di situ dengan mereka masuk di tempat wisata itu.
Tidak hanya itu pariwisata juga bisa mengembangkan produk daerah disitu. Sekarang yang dikaitkan dengan pariwisata itu kopi. Jadi kopi bisa dijadikan kuliner wisata yang baru. Karena Indonesia merupakan penghasil kopi yang enak di dunia.
KPC: Apakah ini bisa dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi-JK ingin menjadikan Indonesia sebagai negara pariwisata?
JBSP: Ya sebenarnya tidak juga tapi sektor pariwisata ini akan menjadi ‘leading sector’ di dalam konteks pembangunan yang ada tidak hanya meningkatkan devisa tapi juga membangun ekonomi di destinasi tersebut. Kalau untuk menjadi negara pariwisata saya rasa tidak.
Tapi pada kenyataan untuk menjadi ‘leading sector’ ada kegagapan yang dialami oleh warga seperti contoh di Bromo Tengger Semeru yang belum bisa terkoordinasi soal sampah. Bagaimana anda melihatnya?
Hal itu menunjukan ketidaksinergian dalam tataran kebijakan. Tentu kebijakan itu harus disinergikan dengan pemerintah daerah. Memang tidak bisa serta-merta bisa berubah.
Banyak yang perlu diperbaiki tidak hanya sampah. Seperti salah satunya contoh Danau Toba. Mereka kan tidak satu wilayah saja tapi tiga wilayah atau tiga kabupaten, dan itu kan perlu waktu untuk mengkoordinasikan 3 wilayah itu.
Soal sampah itu jadi prioritas. Tidak hanya sampah plastik tapi juga sampah-sampah yang lain utamanya di lautan itu jadi konsen Jokowi-JK. Saya beberapa tahun lalu ikut ratas dan menyimpulkan bahwa sampah bisa dijadikan negeri. Dan dibeberapa daerah ada sumber-sumber energi listrik.
KPC: Ada dua konsep pariwisata yang dikembangkan. Pertama yaitu meningkatkan kunjungan wisatawan dan kedua meningkatkan pendapatan. Artinya Pemerintah harus memilih apakah mementingkan kualitas atau kuantitas. Bagaimana Anda melihat konteks itu?
JBSP: Jadi ada yang dipakai parameter yang dipakai oleh Kementerian Pariwisata, parameter yang digunakan ialah parameter internasional. Pariwisata itu dikembangkan ‘base’ ukuran-ukuran atau standar internasional.
Jadi bukan kita memisahkan kualitas dan kuantitas bisa seiring bukan dipertentangkan. Jadi pengunjung semakin besar ,kualitas juga meningkat bagus. Itu harus dibuat seiring dan bukan dipertentangkan.
Sebelum memutuskan untuk 10 destinasi baru tersebut pasti ada pertimbangan. Seperti sikap masyarakat lokal kepada wisatawan.
Dari penjamuan masyarakat setempat di bandara, lalu juga harga jual barang masyarakat lokal kepada bule. Itu kan juga meningkatkan kualitas tidak hanya soal sampah, ada sikap yang harus dikembangkan. Dan itu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat atau sebulan dua bulan.
KPC: Kira-kira kapan bisa terwujud untuk hal itu?
Dari tren kan meningkat lalu juga pembangunan nyata juga meningkat seperti Mandalika, lalu di Danau Toba ada bandara. Belum lagi juga pembangunan jalan tol dan itu kan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas. Itu masih perlu waktu apalagi dalam pembangunan sikap masyarakat.
Contoh seperti Singapura orang membuang sampah sembarangan pasti takut, bahkan masyarakat Indonesia yang ke sana (juga takut).
Nah hal itukan berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia, orang masih membuang sampah sembarangan bahkan orang yang mengunjungi Indonesia juga. Jadi ini yang perlu waktu mengubah sikap ini
Konsep pariwisata seperti apa yang dibutuhkan oleh Indonesia?
JBSP: Sebenarnya hal itu dapat disimpulkan oleh kualitas dan kuantitas. Kualitas tidak ditentukan oleh pro lingkungan saja tapi juga bagaimana pariwisata itu bisa dinikmati oleh masyarakat setempat.
Jadi bagaimana warga sekitar itu dapat menikmati pariwisata tidak hanya dari sisi ekonomi meningkat. Dan juga bagaimana bisa memanfaatkan pariwisata sebagai sarana peningkatan pendidikan dan hidup untuk lebih layak lagi. Konsep-konsep itu yang di gagas Jokowi-JK dan kita sangat bisa untuk mewujudkan hal tersebut.
Laporan: Muhammad Hafidh