LEBIH baik terlambat daripada tidak sama sekali. Begitu kata peribahasa. Kini, tampaknya Bank Indonesia (BI) mengambil sikap tersebut. Akhir pekan silam Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan BI bakal menerbitkan aturan baru yang mewajibkan eksportir memasukkan devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam sistem perbankan nasional.
Beleid yang rencananya mulai berlaku pada 1 Januari 2019 tersebut, merupakan implementasi dari penyempurnaan Paket Kebijakan Ekonomi jilid 16. Untuk itu, BI akan membuatkan rekening simpanan khusus (RSK) bagi penyimpan devisa di dalam negeri. Selama disimpan bank sentral akan memberi insentif berupa pemotongan pajak atas bunga deposito.
Perry mengklaim aturan baru tentang DHE ini tidak bertabrakan dengan UU nomor 24/1999 tentang lalu lintas devisa. BI justru memberi kemudahan dalam memasukkan devisa dan memberi insentif saat menukarkan ke rupiah.
Tentu saja, kebijakan ini sangat bagus karena bisa membantu penguatan rupiah atas dolar Amerika. Tren pelemahan rupiah menyebabkan harga berbagai barang yang kandungan impornya tinggi menjadi mahal.
Selain itu, juga menyulitkan dunia usaha yang eksposur kredit dan biayanya banyak dalam denominasi dolar. BUMN seperti PLN dan Pertamina termasuk yang mengalami pukulan berat akibat terus menguatnya dolar.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), misalnya, beberapa waktu lalu sepanjang kuartal III tahun ini diterkam rugi hingga Rp18,48 triliun. Kerugian itu terjadi karena terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan naiknya harga bahan bakar. Tidak tanggung-tanggung, kerugian karena selisih kurs (unrealised lost) saja mencapai Rp17,33 triliun.
Pada titik inilah, peribahasa di pembuka tulisan ini menjadi pas. Pasalnya, ketentuan tentang DHE sudah disuarakan ekonom senior Rizal Ramli sejak tiga tahun silam. Saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya, RR begitu dia biasa disapa, sudah mengusulkan agar BI menerapkan kewajiban memasukkan DHE ke sistem perbankan dalam negeri.
“Waktu rapat di BI, usul saya tersebut tidak disetujui Gubernur BI Agus Martowardoyo dan Menko Perekonomian Darmin Nasution,” ujar Rizal Ramli.
Menurut Menteri Keuangan era Gus Dur tersebut, dengan adanya kewajiban memasukkan DHE ke dalam perbankan nasional, maka akan terjadi net capital inflow.
Bila ditambah dengan kewajiban mengkonversi dolar ke rupiah, maka efeknya bisa memperkuat rupiah secara signifikan. DHE yang masuk juga akan memperkuat likuiditas perbankan sehingga bank bisa menyalurkan pembiayaan lebih besar ke sektor riil.
DHE yang ditarik masuk ke dalam negeri sangat berguna untuk mempertebal cadangan devisa Indonesia. Maklum, data yang ada menunjukkan sejak Januari 2018 tren cadangan devisa kita terus menyusut. Waktu itu posisinya mencapai $131,98 miliar.
Tapi per Juni 2018 tinggal $119,8 miliar. Salah satu penyebabnya karena Bank Indonesia sibuk mengintervensi pasar valuta asing demi meredam gejolak kurs.
Langkah BI terkait kewajiban memasukkan DHE ke dalam negeri ini sekaligus menjawab keberatan para penganut paham neolib dan penghamba pasar bebas.
Selama ini mereka menakut-nakuti dengan berbagai sisi negatifnya plus ancaman-ancaman. Misalnya, kalau devisa diwajibkan masuk pengusaha akan memindahkan pabriknya ke luar negeri.
Tentu saja, nyanyian para penganut neolib tadi tidak lebih dari ilusi atau halusinasi. Faktanya, gambaran gelap kewajiban menempatkan devisa hasil ekspor ke dalam negeri tidak terjadi di negara-negara yang menerapkannya. Thailand dan Malaysia adalah dua contoh di antaranya.
Malaysia sejak 2016 telah menetapkan aturan yang mengharuskan konversi 75% DHE ke denominasi ringgit. Untuk itu eksportir memperoleh tingkat bunga istimewa saat memarkir dananya di bank-bank domestik dengan rekening khusus DHE.
Sebelumnya, pada rentang 2006-2010, hanya sekitar 28% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Bahkan periode 2011-2015 hanya 1% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Dengan kewajiban konversi tersebut, cadangan devisa Malaysia bertambah US$18 miliar.
Thailand bahkan menetapkan kebijakan ketat. Pemerintah Thailand dengan ketat mengatur kontrol pertukaran valuta asing. Negeri Gajah Putih itu menerapkan Exchange Control Act yang bertujuan menyalurkan valas bagi kepentingan publik, memantau arus modal keluar, memusatkan kepemilikan valas negara serta stabilisasi nilai tukar bath. Hasilnya luar biasa, mereka mampu pulih dari krisis keuangan lebih cepat ketimbang Indonesia
Kewajiban terkait DHE ini juga terbukti membuat nilai tukar ringgit Malaysia dan dan bath Thailand. Bahkan pada 2017 ekspor Thailand bertengger di posisi ke-2 setelah Singapura, yaitu US$236,7 miliar. Sementara Malaysia di urutan ke-3, yaitu US$217,8 miliar. Sementara Indonesia menempati urutan ke-5 di jajaran negara-negara ASEAN dengan nilai US$168,8 miliar.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)