SEMAKIN ke sini, kita semakin tampak sebagai bangsa kacung. Kita keluar negeri, kita bekerja untuk bangsa mereka. Mereka kesini, kita juga bekerja untuk mereka. Mereka bos, kita anak buah. Miriplah dengan orang ndeso yang ingin selalu melayani orang kota, entah di desa maupun di kota.
Pemerintah RI yang mestinya bisa mengangkat dagu terhadap pemerintah negara lain, justru mengeluarkan kebijakan bebas visa masuk ke Indonesia tanpa meminta negara lain melakukan hal yang sama kepada kita. Kita masuk ke negara mereka, bayar. Mereka masuk ke negara kita, gratis.
Kebijakan Perpres 69/2015, Perpres 104/2015 dan Perpres 21/2016 menjadikan warga 169 negara bisa masuk ke Indonesia dengan bebas visa. Sementara di sebagian dari negara itu, kita mesti bayar visa ketika masuk ke sana. Sudah jadi pekerja untuk mereka, kita bayar pula masuk ke sana. Mereka yang bos, malah kita gratiskan masuk kesini.
Konon kabarnya kebijakan itu diambil Presiden RI untuk meningkatkan wisatawan, ekonomi dan pendapatan negara. Sementara data yang dipaparkan BPS maupun Dirjen Imigrasi malah menunjukkan tidak adanya korelasi positif antara Bebas Visa dengan jumlah wisatawan. Yang sangat terasa justru hilangnya lebih dari Rp1 Triliun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Tak heran jika saudara-saudara kita petugas imigrasi mengeluh, sebab kini dana operasional mereka berkurang drastis, dana bensin tak ada lagi, makan pun mesti bawa rantang dari rumah. Mereka inilah yang bertugas memeriksa warga negara asing—yang bos-bos itu—yang masuk ke Indonesia. Syukur-syukur jika kinerja mereka tidak berkurang.
Tiga buah Perpres itu demikian serampangannya menentukan negara mana saja yang beroleh fasilitas bebas visa ke Indonesia. Kesannya seakan-akan “seluruh dunia boleh masuk kesini secara gratisâ€, bahkan negara-negara miskin yang hampir tidak pernah ada wisatawannya ke Indonesia pun diberi fasilitas bebas-visa. Konyol memang.
Sementara jumlah wisatawan dari negara-negara makmur tidak bertambah signifikan walaupun sudah di-bebas-visa-kan. Wong dia punya duit, kalau dia mau wisata ke Indonesia, ya dia ke Indonesia saja, terserah mau pakai visa atau tidak. Jika dia ogah ke Indonesia, bebas visa pun tetap saja dia tak akan ke sini.
Yang justru tampak meningkat signifikan adalah jumlah pelanggaran imigrasi. Warga negara Tiongkok yang terdata paling banyak bermasalah; sejak masuk, ketika tinggal, hingga masalah dalam kepulangan. Beberapa kasus, misalnya, warga tiongkok datang kesini lalu mereka menipu warga di negara mereka melalui berbagai modus penipuan online. Juga visa wisata yang dipakai untuk visa kerja (TKA Ilegal).
Kebijakan bebas visa juga mengakibatkan pengawasan, screening dan filtering terhadap para pendatang menjadi agak lemah. Ini memungkinkan mudahnya tokoh-tokoh dari negara lain yang berideologi anti-Pancasila masuk ke Indonesia dan membesarkan jejaringnya.
Belum lagi masalah masuknya narkoba. Kita bisa mencurigai bahwa orang asing yang memasok  narkoba ke Indonesia masuk ke negara ini melalui jalur legal bebas visa. Sesampainya di sini mereka mengatur teknis penyelundupan barang haram itu ke Indonesia.
Presiden RI mesti menghentikan kebijakan bebas visa itu untuk negara-negara tertentu yang tidak menguntungkan Indonesia. Ketiga Perpres tersebut harus dievaluasi. Jangan biarkan negara ini menjadi “telanjang†dan tanpa pertahanan ideologi, pertahanan ekonomi (kemandirian bangsa), dan demi harga diri negara dan bangsa.
Oleh Elnino M. Husein Mohi, Komisi 1 DPR RI, Fraksi Gerindra, Representasi Gorontalo