KESIBUKAN acara keluarga di luar kota menunda saya membuat sejumlah status. Apalagi bersamaan dengan akhir bulan yang seperti biasa menguras energi supaya bisnis saya tetap jalan.
Tapi saya tetap mengamati beberapa isu dan berita. Terutama berita hari ini di koran Kompas (31/8/2020) yang seperti menyimpulkan apa yang selama ini saya kritik dari pemerintahan Presiden Jokowi.
Satu, birokrasi yang tidak efektif. Dua, tata kelola pemerintahan yang acak-acakan. Kata Kompas, periode pertama Jokowi masalah itu marak dan pada periode kedua malah berulang, alih-alih terselesaikan.
Klaster masalahnya ada tiga: kebijakan salah kamar dan kerancuan organisasi; kebijakan antarkementerian yang tidak sinkron; dan kebijakan yang inkonsisten.
Kartu Prakerja adalah contoh kebijakan salah kamar.
Seharusnya di Kementerian Tenaga Kerja malah digarap Kemenko Perekonomian. Begitu pula Food Estate (lumbung pangan). Harusnya di Kementerian Pertanian malah di Kementerian Pertahanan.
Dampak finansial kenegaraannya adalah realisasi belanja negara cuma 43,04% (data Ditjen Bina Keuangan Kemendagri). Birokrat takut terjerat hukum, tidak ada basis data yang solid untuk penerima bantuan, birokrasi berbelit-belit, adalah sejumlah penyebab.
Untuk urusan vaksin Covid-19 pun pemerintah belum solid betul. Mau mendorong vaksin merah putih kerja sama dengan Cina atau kepunyaan BIN. Tapi dalam hal anggaran, angka sudah keluar Rp160-an triliun untuk uang muka.
Begitu pula masalah pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dulu sebelum jadi Mendikbud, Mas Menteri ini paling jumawa dan sesumbar bahwa ia siap dipilih menjadi Mendikbud karena “paling tahu soal masa depan”. Macam cenayang rupanya.
Tapi terbukti kini ia tidak tahu apa-apa soal masa depan ketika corona datang. Dia bilang generasi corona terancam mengalami ketertinggalan generasi kalau terus melakukan PJJ, tanpa menyadari sebelum ada corona pun generasi kita sebenarnya sudah tertinggal.
Jika hanya gagasannya menyubsidi kuota internet, suatu hal yang seharusnya sudah diputuskan pada bulan-bulan awal PJJ, dan pembayaran uang sekolah melalui aplikasi, itu gagasan standar dan sama sekali tidak substansial sebagai perubahan mindset dan sistem pendidikan.
Mau dibalut pakai slogan Merdeka Belajar pun sama saja tidak menyelesaikan pokok masalah. Kenapa tidak ada terobosan untuk menjawab pertanyaan, bagaimana menciptakan sistem IT yang membuat anak-anak sekolah belajar online tanpa perlu pakai kuota data. Semacam intranet nasional.
Semua itu berarti penguat hipotesis kita bahwa pemerintahan Presiden Jokowi belum beres. Masih buruk. Belum ada perbaikan meskipun sudah melalui periode kedua. Ini fakta.
Jika pemerintah getol sekali membuat publikasi dan dengungan tentang alokasi anggaran macam-macam tetapi penyerapannya masih rendah karena birokrasi tidak efektif, itu artinya publikasi dimaksud tidak punya makna dan sekadar deretan angka belaka.
Kasarnya buang-buang uang untuk biaya publikasi dan membayarkan jasa dengungan.
Dengan demikian, masalah utamanya adalah bukan karena sedikitnya waktu dan krisis akibat corona melainkan pemerintah banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak penting.
Kampanye angka-angka dalam kertas anggaran, membahas rancangan undang-undang yang tidak mendesak dan bermasalah seperti RUU Cipta Kerja, mengeluarkan kebijakan yang saling bertabrakan antarlembaga, membahas urusan pencalonan wali kota sang anak di Istana, sibuk membahas pembentukan opini dan counter opini kritis, dan sejenisnya adalah contoh yang sulit dibantah dari betapa banyaknya pemerintah membuang-buang waktu.
Oleh Agustinus Edy Kristianto, Wartawan Senior