BISA jadi Jokowi sebagai Presiden seorang yang amat baik. Saking baiknya bisa saja lemah terhadap kepentingan tokoh yg mendukungnya, termasuk kepentingan partai pendukungnya.
Membanjirnya impor pangan yang dikelola oleh Mendag pada tahun 2018 jika dibanding tahun sebelumnya sangat mencolok, apakah ini kepentingan ditahun politik, penulis belum bisa menyimpulkan.
Gaduh tentang impor beras sudah diketahui oleh khalayak ramai melalui hasil audit BPK, dan viral marahnya Kepala Bulog Budi Waseso alias Buwas “Matamu!” .
Bahkan begawan ekonomi Rizal Ramli telah pula melaporkan kasus mafia pangan ke KPK. Data kenaikan impor pangan Januari-September 2018 oleh BPS memperlihatkan betapa jor-jorannya impor pangan.
Impor gula tebu naik sebesar 9,7%, impor daging naik 17,81%, impor garam juga mengalami kenaikan 22,34%, impor kakao tercatat naik 17%, mentega mengalami kenaikan 11%, tepung terigu mencatatkan kenaikan 30%, teh impor naik sekitar 3%.
Kopi luar biasa mengalami kenaikan 524% alias 5 kali lipat, cengkeh mengalami kenaikan impor 7 %.
Mendag yang berasal dari parpol sangat “kekeuh” terhadap perlunya impor, wajar jika ditenggarai punya kepentingan. Anehnya kegaduhan impor tersebut walaupun bertolak belakang dengan kebijakan untuk meningkatkan ekspor dan defisit perdagangan, sepertinya terkesan “dibiarkan” oleh Presiden Jokowi.
Tidak saja pangan tapi TPT (tekstil dan produk tekstil) juga ternyata dibanjiri oleh impor data menunjukan terjadi kenaikan impor secara menggila di tahun 2018, setelah berlakunya Permendag 64 tahun 2017 yang mengijinkan trader bisa impor lewat Pusat Logistik Berikat (PLB).
Konon perusahaan di PLB tempat stok barang impor ini “dikuasai” oleh orang dari satu kelompok partai.
Mendag untuk impor TPT “disokong” oleh Ketua API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), yang juga adalah caleg DPR RI dengan partai yang sama dengan Mendag, selalu bicara bahwa kita perlu impor untuk kepentingan ekspor dan IKM.
Alasan untuk melindungi kepentingan ekspor jelas tidak relevan karena nilai ekspor tidak naik dan alasan kepentingan IKM lebih tidak tepat karena untuk ekspor sudah ada fasilitas KB/KITE dan lagi kebutuhan IKM sudah bisa dipenuhi oleh bahan baku lokal, tepatnya adalah adanya mafia TPT yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok importir.
Anehnya data API sendiri menyatakan utilisasi Industri TPT saat ini masih di bawah 50%.
Konon Menperin sudah beberapa kali berkirim surat agar impor TPT dikendalikan, sepertinya hal tersebut tidak akan digubris, jika Presiden Jokowi betul-betul kuat, mafia pangan dan mafia TPT tentunya tidak akan merajalela seperti tahun ini.
Memang sudah semestinya Presiden Jokowi lebih tegas berpihak kepada kepentingan rakyat dengan memecat Mendag yang lebih condong membela kepentingan importir, ‘last but not least’ lebih membela kepentingan partai, namun jika keberpihakan Presiden sama dengan menterinya apa boleh buat, rakyat tak berdaya.
Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78