Artikel ini ditulis oleh Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Registered Lawyer di Indonesia dan Australia.
Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Ciptaker”) saja, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah melanggar konstitusi, karena pada dasarnya tidak memenuhi syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa”. Tidak adanya kegentingan semakin dikonfirmasi dengan tidak adanya keputusan DPR atas Perppu Ciptaker tersebut pada masa sidang yang baru lalu.
Lebih jauh, tidak ada keputusan DPR atas Perppu Ciptaker tersebut, harusnya bermakna Perppu Ciptaker tidak mendapatkan persetujuan, dan karenanya harus dicabut melalui UU Pencabutan Perppu Ciptaker. Fakta bahwa Presiden Jokowi tidak mengajukan RUU Pencabutan Perppu Ciptaker, makin menegaskan pelanggaran konstitusi yang berlanjut, dan makin menunjukkan cara bernegara yang buruk tidak menghormati UUD 1945.
Perppu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945, yang pada intinya menegaskan 4 (empat) hal yaitu:
1. Subjek (who): Yang dapat menerbitkan Perppu adalah Presiden (Pasal 22 ayat (1)).
2. Kapan (when): Perppu dapat diterbitkan jika ada “kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 ayat (1)).
3. Kontrol (checks and balances), selanjutnya bagaimana (what next): Perppu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (Pasal 22 ayat (2)).
4. Jika ditolak (if rejected): Jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut (Pasal 22 ayat (3)).
Dalam hal Perppu Ciptaker, meskipun misalnya Presiden anggaplah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, padahal tidak (quod non), maka Perppu Ciptaker berdasarkan konstitusi harus dicabut karena tidak mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikut setelah Perppu tersebut diterbitkan.
Faktanya, bahwa masa sidang DPR berikutnya setelah penerbitan Perppu Ciptaker adalah 10 Januari 2023 s.d. 16 Februari 2023. Adalah fakta pula, bahwa hingga masa sidang tersebut berakhir di tanggal 16 Februari, tidak ada keputusan DPR yang menyetujui Perppu Ciptaker.
Alasan bahwa Perppu Ciptaker masih berlaku dan baru akan mendapatkan persetujuan pada sidang DPR berikutnya (lagi), adalah alasan yang melanggar hukum, dan karenanya tidak dapat dibenarkan. Penjelasan dan Pasal 52 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2022 (“UU PPP”), dengan tegas mengatur bahwa:
“Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan”.
Frasa “masa sidang pertama” sengaja saya tebalkan, untuk membantah argumentasi asal-asalan, bahwa Perppu Ciptaker masih bisa disetujui dalam masa sidang berikutnya (lagi), yang artinya sudah bukan lagi masa sidang pertama setelah Perppu Ciptaker ditetapkan Presiden Jokowi.
Begitu pula argumentasi yang mengatakan, Perppu Ciptaker sudah mendapatkan persetujuan DPR karena telah disetujui pada rapat Baleg di 15 Februari 2023, adalah argumentasi yang keliru dan harus ditolak. Semua kita paham, bahwa Perppu, sebagaimana undang-undang, persetujuan DPR-nya harus dilakukan secara resmi dalam rapat paripurna DPR.
Lebih jauh, bahwa persetujuan atau penolakan DPR itu harus dalam forum rapat paripurna, juga ditegaskan dalam Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU PPP, yang untuk jelasnya dikutip langsung sebagai berikut:
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
Logika hukum bahwa Perppu harus disetujui dalam rapat paripurna DPR, adalah sejalan dengan mekanisme persetujuan semua Rancangan UU. Karena pengajuan Perppu ke DPR adalah dalam bentuk RUU (vide Pasal 52 ayat (2) UU PPP), maka persetujuan DPR-nya harus dalam forum rapat paripurna, bukan forum DPR yang lain, termasuk bukan dalam rapat Baleg, sebagaimana yang diklaim telah dilakukan oleh DPR.
Lebih jauh, kalaupun penundaan persetujuan DPR RI itu dianggap benar sekalipun, padahal tetap salah (quod non), penundaan demikian semakin menegaskan bahwa tidak ada kegentingan yang memaksa sebagai syarat konstitusional penerbitan Perppu Ciptaker. Bukti konkritnya, DPR saja tidak segera menyetujuinya menjadi undang-undang.
Maka, dengan tidak adanya persetujuan DPR pada persidangan yang berakhir di 16 Februari, jelaslah bahwa Perppu Ciptaker tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, yaitu, “…harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut” (pasal 22 ayat (2)) dan karenanya “harus dicabut” (pasal 22 ayat (3)).
Hal demikian karena, berbeda dengan RUU biasa, yang bisa ditunda pembahasannya, ataupun disetujui dalam rapat paripurna pada masa-masa selanjutnya; pembahasan RUU tentang perppu tidak dapat ditunda ke rapat paripurna berikutnya. Karena, persetujuan DPR harus diberikan pada masa sidang pertama setelah Perppu ditetapkan. Yang dalam hal Perppu Ciptaker, paling lambat adalah pada rapat paripurna DPR di tanggal 16 Februari 2023. Bukan rapat paripuna DPR yang lain setelahnya. Semestinya di rapat paripurna DPR 16 Februari 2023 tersebut, harus ada keputusan menyetujui atau menolak Perppu Ciptaker.
Fakta bahwa tidak ada keputusan persetujuan ataupun penolakan bukan berarti Perppu Ciptaker masih berlaku. Karena, tetap saja tidak memenuhi syarat harus disetujui dalam masa sidang DPR yang berakhir di 16 Februari 2023. Sehingga kegagalan persetujuan DPR itu membawa konsekuensi legal, bahwa Perppu Ciptaker harus dicabut (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945).
UUD 1945 dan UU PPP memang tidak mengatur bagaimana jika hingga akhir masa sidang setelah Perppu ditetapkan, belum ada keputusan dari DPR atas suatu Perppu. Namun, itu bukan berarti Perppu itu tetap berlaku. Sebaliknya, Perppu justru menjadi tidak berlaku secara hukum.
Karena syarat berlakunya Perppu menjadi undang-undang sebenarnya ada dua, yaitu:
1. RUU Perppu tersebut disetujui DPR menjadi undang-undang dalam rapat paripurna; dan
2. Persetujuan itu diberikan pada masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan presiden.
Bahwasanya DPR tidak mengeluarkan keputusan atas Perppu Ciptaker dalam akhir masa sidang di 16 Februari kemarin menunjukkan kegentingan yang diargumenkan Presiden Jokowi “diam-diam” tidak disepakati oleh DPR, khususnya oleh partai koalisi di DPR.
Semestinya penolakan “diam-diam” DPR itu membawa konsekuensi Perppu Ciptaker “harus dicabut” (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945), dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 Ayat (5) UU PPP). Normalnya, pencabutan sendiri dilakukan melalui RUU Pencabutan Perppu Ciptaker yang diajukan oleh Presiden atau DPR (Pasal 52 ayat (6) UU PPP) dan disahkan menjadi UU paling lambat di rapat paripurna DPR pada 16 Februari 2023 lalu (Pasal 52 ayat (8) UU PPP).
Karena tidak adanya UU yang mencabut Perppu Ciptaker, disebabkan Presiden (maupun DPR) tidak mengajukan RUU pencabutannya, bukan berarti Perppu Ciptaker masih berlaku. Namun itu hanya berarti satu hal: Presiden Jokowi lagi-lagi abai melaksanakan UUD 1945, undang-undang, dan peraturan selurus-lurusnya sesuai lafadz sumpah jabatannya. Alias, Presiden Jokowi lagi-lagi dengan ringan hati menabrak konstitusi.
Praktik penabrakan konstitusi, yang dengan ringan hati terus dilakukan oleh Presiden Jokowi itulah, yang sangat merisaukan saya.
Melbourne, 23 Februari 2023.
[***]