Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Pada saat kita menganggap investasi pribadi kita baik-baik saja, ternyata perusahaan “milik” kita di pasar malah melanggar HAM.
Sebagai contohnya kasus yang sedang hangat belakangan ini, perusahaan properti mengusir warga dari tanahnya dengan menggunakan preman dan aparat,
tanahnya dibayar dengan harga amat murah.
Pejabat pemerintah disuap oleh mereka, sehingga semua mendukung pengusiran warga dan perampasan tanah rakyat tersebut.
Melihat situasi tersebut, amankah investasi kita? Jawabnya boleh jadi tidak aman. Karena perusahaan tempat kita berinvestasi sangat beresiko.
Apakah resiko menghadapi kemarahan rakyat yang menolak tanahnya dirampas. Yang bukan tidak mungkin isu ini akan menyeret banyak pihak mulai dari aktivis, intelektual, media massa
independen, budayawan, hingga para elit politik.
Karena soal tanah bukan hal yang baru bagi Indonesia dan Dunia. Revolusi akibat persoalan tanah sudah seringkali terjadi di dalam sejarah dunia.
Hal ini sebagai respon dari perjuangan masyarakat dunia mendapatkan tanah terwujud dalam berbagai proyek redistribusi tanah atau “land reform” yang terjadi di banyak Negara.
Sebut saja misal: Lenin pada saat Revolusi Rusia, Mao pada saat Revolusi Tiongkok, Gamal Abdul Nasser di Mesir, Che Guevara pada saat Revolusi Kuba, Ho Chi Minh di Revolusi Vietnam, Hugo Chaves di Venezuela, Evo Morales di
Bolivia, dan pemerintahan-pemerintahan progresif lainnya di Dunia.
Indonesia tidak termasuk negara yang pernah melakukan program land reform seperti negara-negara tersebut. Di Indonesia sendiri, sebenarnya periode panas 1960-1965 yang berujung jatuhnya Sukarno dan terbantainya jutaan rakyat Indonesia juga disulut oleh persoalan tanah.
Kekuatan politik terbesar saat itu, Partai Komunis, melakukan aksi-aksi sepihak pendudukan lahan untuk mempercepat pelaksanaan UU Pokok Agraria 1960 yang menjadi program Pemerintah Sukarno.
Kebetulan selain tanah perusahaan swasta, ada juga tanah-tanah milik pesantren yang dijadikan target land reform. Kelompok Islam didukung oleh militer dan polisi, berhadap-hadapan dengan kelompok komunis di lapangan.
Lalu terjadilah kudeta gagal 30 September 1965, dilanjutkan huru-hara seluruh Indonesia hingga 1966.
Dan Indonesia tutup buku dengan land reform, hingga saat ini. Tapi saat ini yang menduduki lahan pesantren bukannya kelompok komunis seperti tahun 1965, melainkan kelompok antek taipan properti.
Seperti belum lama ini terjadi di sebuah bukit di kabupaten Bogor. Para warga masyarakyat (ada pesantren juga di antaranya) yang menjadi korban
dari keganasan perusahaan properti ini kemudian mengadu ke Komnas HAM (28/9).
Kenapa rakyat yang menjadi korban ke Komnas HAM? Karena buat rakyat, seluruh aparat di wilayah tersebut sudah dibeli oleh pihak pengembang.
Mereka rakyat yang mengadu malah dipenjara. Sungguh berkuasa mereka para taipan pengembang ini.
Perhitungannya sederhana.Mereka beli tanah rakyat dari kisaran Rp 3000/m2 sampai Rp 4000 m2. Kalau ada bangunan/runah Rp 25 ribu/m2, hingga Rp 35 ribu/m2.
Luar biasa murah. Padahal tanah tersebut mereka dapat jual hingga Rp 15 juta-20 juta/meter. Oleh pengembang dialokasikan dana Rp 100 ribu/m2 lagi untuk membiayai aparat dan preman. Mereka masih sangat untung.
Mereka ini juga adalah para cukong politik yang terlalu percaya diri dapat mengendalikan dunia politik Indonesia. Mereka merasa dengan membeli seluruh pejabat, membiayai para politisi, dan mengerahkan ribuan preman untuk intimidasi rakyat dan pihak yang kritis dapat membuat mereka memenangkan situasi ini dan kembali bercukong. Tapi sampai kapan?
Mereka tidak sadar bahwa saat ini zaman sudah berbeda. Pada saat ini dalam bisnis sangat memerlukan etika. Pasar modal yang unsurnya juga merupakan manusia-manusia, yang memiliki etika.
Karena menurut studi, permasalahan HAM dapat menjadi alasan para investor di pasar modal lari meninggalkan perusahaan pelanggarnya.
Hal ini terjadi karena investor menganggap perusahaan pelanggar HAM sudah kehilangan akuntabilitasnya, sehingga reputasinya sebagai perusahaan publik pun hancur di mata investor.
Penelitian dilakukan David Kreitmeir, Nathan Lane, dan Paul A. Raschky dari University of Oxford dan Monash University, yang mengestimasi dampak dari laporan pelanggaran HAM terhadap harga saham perusahaan publik.
Hasilnya menyebutkan bahwa dampak dari kasus pelanggaran HAM sangat substansial terhadap jatuhnya harga saham perusahaan tersebut di pasar
modal.
Bila sudah ditinggalkan oleh investor di pasar modal, habis sudah kekayaan para cukong yang nir-etika tersebut. Sudah saatnya kita menganut “school of thinking” yang baru, mulai berbisnis dengan menggunakan etika.
Etika adalah good business practice, dan akan menjadi masa depan umat manusia. Sederhananya, bila perusahaanmu tidak melanggar HAM, atau tidak merusak lingkungan, atau menghargai masalah gender, maka nilai perusahaan tersebut akan jauh lebih diapresiasi oleh pasar.
Investor di Indonesia juga seharusnya mengikuti perkembangan ini. Jangan-jangan karena banyak perusahaan Indonesia yang melanggar etika, ikut melestarikan korupsi, merusak lingkungan, dan diskriminasi gender sehingga investasi serasa jauh dari Indonesia.
Maka, dengan begitu sudah waktunya kita semua berubah bersama. Bila ingin Indonesia kebanjiran investasi, jadilah lebih etis dalam berbisnis.
[***]