MAHKAMAH Konstitusi (MK) sudah memutuskan menolak permohonan gugatan Prabowo-Sandi.
Sedikit tipuan dengan juga menolak eksepsi termohon KPU dan terkait Jokowi-Ma’ruf.
Justru dengan menolak eksepsi maka secara hukum bisa menolak gugatan Prabowo Sandi.
Dalil pertimbangan yang dikemukakan banyak kejanggalan jika dieksaminasi.
Tapi undang-undang menempatkan putusan MK final.
Tak ada upaya hukum yang dapat membatalkan.
Bahasa Prabowo dalam sambutannya menghormati putusan dengan menyatakan kekecewaan.
Pendukung tentu juga kecewa dan menilai putusan telah melegitimasi kecurangan.
Meskipun kecewa tapi tentu tidak mesti putus asa ataupun patah semangat.
Misi perjuangan adalah mulia menegakkan kedaulatan rakyat dengan segala dimensinya.
Prabowo sendiri menyatakan akan mencari jalan untuk perjuangan konstitusional berkelanjutan.
Secara hukum Jokowi telah ditetapkan pemenang Pilpres. Kini pun memang Presiden.
Perpanjangan resminya jika sudah dilantik nanti Oktober 2019. Meski sukses memenangkan kompetisi namun Jokowi memiliki agenda berat ke depan.
Tantangan agenda itu bisa merontokkannya jika ia tak pandai memimpin bangsa dan negara dengan baik.
Sekurangnya ada tiga tantangan yang dihadapi dekat.
Pertama, problema pelanggaran HAM berat sebagai ekses pilpres dimana penanggungjawab pemerintahan adalah dirinya.
Ini berkaitan dengan kasus korban tewas 9 orang dalam insiden 22 Mei 2019.
Masih simpang siur pelaku pembunuhan yang diantaranya tertembak ini apakah pihak perusuh, aparat, atau pihak ketiga.
Begitu juga dengan meninggalnya hampir 700 petugas pemilu secara misterius.
Pemerintah Jokowi menjadi pihak yang didesak pertanggungjawabannya dengan tudingan “pelanggaran HAM berat” yang akan melibatkan penyelidikan lembaga kompeten HAM baik nasional maupun internasional.
Kedua, kondisi ekonomi bangsa yang tidak mudah dikendalikan. Trennya bergerak terus menuju krisis.
Bercermin pada masa akhir Orba yang akhirnya jatuh karena persoalan ekonomi sebagai pemicunya.
Kini fakta yang terjadi adalah defisit neraca APBN dan defisit transaksi berjalan.
Impor tinggi termasuk “impor” tenaga kerja Cina yang bereskalasi.
Pengangguran bertambah. Utang luar negeri besar hingga 800 miliar dollar.
Kerjasama BRI dengan RRC bukan menguntungkan akan tetapi akan membuat terpuruk perekonomian negara.
Ketergantungan dan kolonialisasi. Korupsi dan kolusi terus menguat. Lingkaran Istana sangat rentan untuk menjadi “sarang” dan pusaran korupsi itu.
Ketiga, hubungan dengan kekuatan keagamaan yang tidak harmonis akan melemahkan kepemimpinan.
Isu radikal dan intoleran yang diarahkan kepada umat Islam sangat menyakitkan.
Justru mengundang perlawanan terus menerus. Lingkaran kekuasaan Jokowi dikhawatirkan didominasi kelompok kepentingan penggerus dari hubungan harmoni ini.
Apalagi jika penyusup anti ideologi negara ada di dalamnya. Umat Islam adalah mayoritas karenanya mempersoalkan keberadaan dan kontribusinya adalah kesalahan sekaligus memutar sejarah.
Revitalisasi negeri tanpa melibatkan elemen strategis keumatan akan sia-sia.
Perjuangan untuk kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat adalah prioritas.
Sekaligus perjuangan mulia yang berkelanjutan. Siapapun yang memimpin negara dengan mengabaikan asas ini memiliki kerawanan serius.
Sebagai “never ending process” langkah perjuangan butuh kesabaran, ketekunan, keberanian dan kearifan. Tentu saja keimanan yang utama.
Allah Maha Penolong. Nashrun minallah.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung