Artikel ini ditulis oleh Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila.
Maraknya fenomena “kotak kosong” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dinilai mencerminkan “kemunduran demokrasi” karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang “tidak ideal”, kata lembaga sipil pengawas pemilu dan pakar politik.
Tetapi dari kajian Rumah Pancasila, ini bukan karena kemunduran demokrasi, tetapi rakyat sudah muak dengan demokrasi-demokrasian “mbelgedes” yang serba rekayasa dan dengan permainan uang.
Bahkan ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan politik NPWP, Nomor Piro Wani Piro. Begitu nistanya model politik kepartaian di negeri ini.
Politik pasar bebas tanpa nilai dan tanpa moral. Tetapi anehnya demokrasi liberal dianggap oleh intelektual kampus sudah paling benar.
Sementara para guru besar dan intelektual kampus justru melihat sebagai kemunduran demokrasi. Bahkan hal ini dikatakan oleh Guru Besar dan 1000 civitas akademika UGM. Mereka mengatakan demokrasi telah mati.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong.
KPU pun memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah ini pada 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru.
Makanya Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, adalah sebagai berikut:
1. Yang dipilih secara demokrasi adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah.
Ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil kepala daerah sesungguhnya dapat dihilangkan dalam sistem Pemerintahan Daerah.
2. Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD (telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2009), yang tidak lagi memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Yang kemudian dilanjutkan dengan pengundangan UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kepastian hukum, bahwa makna “dipilih secara demokratis”adalah pemilihan langsung oleh rakyat (one man one vote).
Tentu tafsir secara demokrasi yang dimaknai dengan pemilihan langsung perlu di gugat ke MK sebab apakah Permusyawaratan yang diperintahkan oleh pembukaan UUD 1945 bukan demokrasi?
Padahal perintah pembukaan UUD 1945 yang masih sah sebagai konstitusi memerintahkan.
Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” UUD 1945 ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Apakah pemilihan langsung dengan bumbung kosong adalah perintah UUD 1945?
Apakah kalau yang menang kotak kosong terus akan diulang-ulang tentu saja ini sebuah ketololan dalam sistem demokrasi liberal. Mengapa melawankan calon partai dengan kotak kosong adalah kebodohan dan pemborosan anggaran.
Di sinilah kita bisa menguji ternyata UUD 2002 hasil amandemen itu tidak konsisten dan inheren dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang masih sah berlaku.
Apakah bentuk ketololan seperti ini akan kita terus teruskan? Bagaimana kalau kotak kosong yang menang jelas ini memecah bela bangsa dan semakin bodohnya kita sebagai bangsa, diberi proxy demokrasi yang dipuja-puja oleh kaum intelektual di begeri ini.
Demokrasi mbelgedes kok ditelan oleh mayoritas umat Islam padahal jelas tujuan nya mensekulerkan Umat Islam dan para Ulama Kiai begitu menikmati demokrasi yang serba uang ini.
Apakah kita rela Islam menjadi sekuler? Ya dukung saja Demokrasi liberal dan jangan bingung kalau akidah di injak-injak atas nama demokrasi.
Harusnya kita berani menyelamatkan Negeri ini melawan antek-antek liberal kapitalis dengan kembali pada UUD 1945 dan Pancasila.
[***]